Kabar Latuharhary – Indonesia adalah salah satu negara dengan komitmen tinggi terhadap penghormatan hak asasi manusia (HAM). Tapi implementasi terhadap komitmen tersebut dinilai belum sesuai dengan situasi umum yang terjadi di Papua. Siklus kekerasan di Papua tercatat tidak pernah berhenti, ditambah kondisi lain seperti diskriminasi dan stigmatisasi. Dalam cakupan tersebut Komnas HAM mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama untuk penyelesaian kasus kekerasan, sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu pelanggaran HAM.
Demikian beberapa poin catatan yang disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Beka Ulung Hapsara dalam Pernyataan Pers dan Diskusi Publik bertajuk "Menanti Perdamaian di Papua: Urgensi Penghentian Kekerasan". Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Klaster Kajian Konflik Pertahanan dan Keamanan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis, 6 Mei 2021.
Mengawali paparannya, komisioner yang akrab disapa Beka menyebutkan berbagai instrumen HAM yang menjadi komitmen pemerintah Indonesia. “Banyak pihak pembuat kebijakan, bahkan politisi ataupun aktivis di internet dan sosial media sering kali mengabaikan soal HAM. Padahal jika kita lihat komitmen Indonesia tentang HAM itu, tidak kurang-kurang,” ujar Beka. Dalam paparannya, beberapa komitmen yang disebutkan Beka di antaranya: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28A sampai Pasal 28J; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional (delapan kovenan dan dua optional protocol); adanya lembaga negara independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan lain-lain.
Komitmen lainnya, Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB untuk yang kelima kalinya berturut-turut. “Ini juga bentuk komitmen Indonesia untuk ikut serta aktif dalam memajukan HAM internasional dan juga memastikan bahwa kebijakan, operasional, serta pelaksanaannya harus bersandar kepada prinsip dan standar HAM,” kata Beka.
Lebih lanjut, Beka menyoroti berbagai situasi umum yang terjadi di Papua. “Saya mencatat, ada tiga situasi umum di Papua. Pertama, siklus kekerasan yang tidak pernah berhenti serta terus memakan korban jiwa, baik dari aparat keamanan, TNI, Polri, masyarakat sipil, aktivis dan sebagainya. Kedua, kualitas dan jangkauan layanan publik yang belum menjangkau semua daerah di Papua untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, pemerintah lebih mengutamakan pendekatan hak ekonomi dibandingkan hak sipil, politik, sosial dan budaya,” ucap Beka.
Kondisi lainnya di Papua, masih adanya diskriminasi dan stigmatisasi, pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi serta berserikat dan berkumpul. “Banyak aktivis-aktivis, pembela HAM ketika mau berkumpul, menyatakan pendapat, aksi damainya dibubarkan aparat. Tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan tuntutannya secara damai kepada pemerintah,” kata Beka.
Berkaca dari situasi umum tersebut Beka menyampaikan beberapa rekomendasi Komnas HAM. “Pertama, kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya,” ujar Beka. Selain itu juga memastikan proses penegakan hukum berjalan secara fair dan transparan kepada semua pihak yang diduga bersalah. Ketiga, menjalankan mekanisme dalam Undang-Undang Otonomi Khusus untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Terakhir, membangun kebijakan dan mekanisme pemulihan korban pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM yang berat.
“Sampai saat ini, Komnas HAM belum pernah mendengar atau mendapat laporan upaya-upaya pemerintah untuk membangun pemulihan korban, tanpa harus menjadikannya alasan untuk mendorong impunitas bagi para pelaku. Pemulihan korban harus satu bagian, tetapi penyelesaian yang bermartabat bagi para pelaku pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM yang berat itu juga harus dijalankan,” kata Beka. (Niken Sitoresmi/Ibn).
Demikian beberapa poin catatan yang disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Beka Ulung Hapsara dalam Pernyataan Pers dan Diskusi Publik bertajuk "Menanti Perdamaian di Papua: Urgensi Penghentian Kekerasan". Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Klaster Kajian Konflik Pertahanan dan Keamanan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis, 6 Mei 2021.
Mengawali paparannya, komisioner yang akrab disapa Beka menyebutkan berbagai instrumen HAM yang menjadi komitmen pemerintah Indonesia. “Banyak pihak pembuat kebijakan, bahkan politisi ataupun aktivis di internet dan sosial media sering kali mengabaikan soal HAM. Padahal jika kita lihat komitmen Indonesia tentang HAM itu, tidak kurang-kurang,” ujar Beka. Dalam paparannya, beberapa komitmen yang disebutkan Beka di antaranya: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28A sampai Pasal 28J; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional (delapan kovenan dan dua optional protocol); adanya lembaga negara independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan lain-lain.
Komitmen lainnya, Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB untuk yang kelima kalinya berturut-turut. “Ini juga bentuk komitmen Indonesia untuk ikut serta aktif dalam memajukan HAM internasional dan juga memastikan bahwa kebijakan, operasional, serta pelaksanaannya harus bersandar kepada prinsip dan standar HAM,” kata Beka.
Lebih lanjut, Beka menyoroti berbagai situasi umum yang terjadi di Papua. “Saya mencatat, ada tiga situasi umum di Papua. Pertama, siklus kekerasan yang tidak pernah berhenti serta terus memakan korban jiwa, baik dari aparat keamanan, TNI, Polri, masyarakat sipil, aktivis dan sebagainya. Kedua, kualitas dan jangkauan layanan publik yang belum menjangkau semua daerah di Papua untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, pemerintah lebih mengutamakan pendekatan hak ekonomi dibandingkan hak sipil, politik, sosial dan budaya,” ucap Beka.
Kondisi lainnya di Papua, masih adanya diskriminasi dan stigmatisasi, pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi serta berserikat dan berkumpul. “Banyak aktivis-aktivis, pembela HAM ketika mau berkumpul, menyatakan pendapat, aksi damainya dibubarkan aparat. Tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan tuntutannya secara damai kepada pemerintah,” kata Beka.
Berkaca dari situasi umum tersebut Beka menyampaikan beberapa rekomendasi Komnas HAM. “Pertama, kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya,” ujar Beka. Selain itu juga memastikan proses penegakan hukum berjalan secara fair dan transparan kepada semua pihak yang diduga bersalah. Ketiga, menjalankan mekanisme dalam Undang-Undang Otonomi Khusus untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Terakhir, membangun kebijakan dan mekanisme pemulihan korban pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM yang berat.
“Sampai saat ini, Komnas HAM belum pernah mendengar atau mendapat laporan upaya-upaya pemerintah untuk membangun pemulihan korban, tanpa harus menjadikannya alasan untuk mendorong impunitas bagi para pelaku. Pemulihan korban harus satu bagian, tetapi penyelesaian yang bermartabat bagi para pelaku pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM yang berat itu juga harus dijalankan,” kata Beka. (Niken Sitoresmi/Ibn).
Short link