Kabar Latuharhary – Pengetahuan terkait peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu penting untuk dimasukan ke dalam kurikulum pembelajaran pada tingkat siswa maupun tingkat mahasiswa. Tidak sedikit peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang belum jelas status hukumnya, sedangkan waktu terus berjalan yang menyebabkan para korban, terduga pelaku dan para saksi pun terancam lekang oleh waktu.
“Saat ini belum ada kurikulum khusus tentang HAM yang diajarkan di sekolah-sekolah, padahal ini bisa menjadi salah satu upaya pencegahan pelanggaran HAM yaitu melalui pendidikan,” ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga saat menjadi narasumber pada diskusi publik dan peluncuran buku yang berjudul “Memori Genosida: Melihat Kekerasan Masa Lalu dalam Perspektif Holocaust" yang diselenggarakan oleh Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan HAM) Universitas Sanata Dharma dari Yogyakarta secara daring pada Jumat, 26 Maret 2021.
Sandra -- panggilan akrab Sandrayati Moniaga -- berpendapat jika kesadaran HAM perlu diperkenalkan dan dibangun sejak dini. Melalui sosialisasi untuk memperkenalkan pengetahuan HAM ke dalam pertumbuhan anak-anak diharapkan dapat membuat mereka lebih toleran dan menghargai hak orang lain.
Sandra juga mengungkapkan jika guru sebagai pendidik memiliki peran strategis. Buku “Memori Genosida” dapat digunakan sebagai bahan ajar dan diharapkan dapat membantu kekosongan buku-buku terkait kekerasan HAM masa lalu seperti peristiwa Holocaust. Sampai saat ini buku-buku yang mengangkat peristiwa pelanggaran HAM masa lalu masih jarang ditemui. “Penting ada buku-buku terkait kasus pelanggaran HAM lainnya misal Wasior Wamena, Talangsari, Rumah Geudong, Jambu Keupok, Pembunuhan Dukun Santet dan lainnya sebagai bahan ajar siswa dan masyarakat untuk mengetahui HAM,” kata Sandra.
Senada dengan Sandra, Antarini Arna, salah satu penulis buku “Memori Genosida” mengungkapkan jika memori terkait peristiwa pelanggaran HAM masa lalu perlu ditanamkan kepada generasi-generasi muda yang akan melanjutkan perjuangan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. “Memori terkait tragedi kemanusiaan sering tidak lengkap, memori ini bisa terhapus oleh waktu, sehingga perlu ditulis sebagai upaya melengkapi memori-memori yang hilang,” ujar Antarini Arna.
Memorialisasi tidak harus dalam bentuk monumen secara fisik, namun dapat melalui buku, film, kurikulum bahkan tanggal peringatan khusus mengenang peristiwa tersebut sehingga memorinya tidak hilang dan terawat. Peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dapat menjadi contoh, dapat mengingatkan kita untuk tetap mengupayakan penyelesaiannya dan mengupayakan agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Sandra mengapresiasi acara ini. Menurutnya buku yang didiskusikan ini dapat membuka memori publik terkait peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang semakin hari semakin terlupakan. “Buku ini sangat relevan mengulas sejarah HAM, penting merawat ingatan kita untuk melawan lupa terhadap pelanggaran HAM masa lalu,” kata Sandra. (Ratih/Ibn)
“Saat ini belum ada kurikulum khusus tentang HAM yang diajarkan di sekolah-sekolah, padahal ini bisa menjadi salah satu upaya pencegahan pelanggaran HAM yaitu melalui pendidikan,” ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga saat menjadi narasumber pada diskusi publik dan peluncuran buku yang berjudul “Memori Genosida: Melihat Kekerasan Masa Lalu dalam Perspektif Holocaust" yang diselenggarakan oleh Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan HAM) Universitas Sanata Dharma dari Yogyakarta secara daring pada Jumat, 26 Maret 2021.
Sandra -- panggilan akrab Sandrayati Moniaga -- berpendapat jika kesadaran HAM perlu diperkenalkan dan dibangun sejak dini. Melalui sosialisasi untuk memperkenalkan pengetahuan HAM ke dalam pertumbuhan anak-anak diharapkan dapat membuat mereka lebih toleran dan menghargai hak orang lain.
Sandra juga mengungkapkan jika guru sebagai pendidik memiliki peran strategis. Buku “Memori Genosida” dapat digunakan sebagai bahan ajar dan diharapkan dapat membantu kekosongan buku-buku terkait kekerasan HAM masa lalu seperti peristiwa Holocaust. Sampai saat ini buku-buku yang mengangkat peristiwa pelanggaran HAM masa lalu masih jarang ditemui. “Penting ada buku-buku terkait kasus pelanggaran HAM lainnya misal Wasior Wamena, Talangsari, Rumah Geudong, Jambu Keupok, Pembunuhan Dukun Santet dan lainnya sebagai bahan ajar siswa dan masyarakat untuk mengetahui HAM,” kata Sandra.
Senada dengan Sandra, Antarini Arna, salah satu penulis buku “Memori Genosida” mengungkapkan jika memori terkait peristiwa pelanggaran HAM masa lalu perlu ditanamkan kepada generasi-generasi muda yang akan melanjutkan perjuangan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. “Memori terkait tragedi kemanusiaan sering tidak lengkap, memori ini bisa terhapus oleh waktu, sehingga perlu ditulis sebagai upaya melengkapi memori-memori yang hilang,” ujar Antarini Arna.
Memorialisasi tidak harus dalam bentuk monumen secara fisik, namun dapat melalui buku, film, kurikulum bahkan tanggal peringatan khusus mengenang peristiwa tersebut sehingga memorinya tidak hilang dan terawat. Peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dapat menjadi contoh, dapat mengingatkan kita untuk tetap mengupayakan penyelesaiannya dan mengupayakan agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Sandra mengapresiasi acara ini. Menurutnya buku yang didiskusikan ini dapat membuka memori publik terkait peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang semakin hari semakin terlupakan. “Buku ini sangat relevan mengulas sejarah HAM, penting merawat ingatan kita untuk melawan lupa terhadap pelanggaran HAM masa lalu,” kata Sandra. (Ratih/Ibn)
Short link