Latuharhary-Hukuman mati kembali menuai pro dan kontra publik, terutama kaitannya dengan HAM dan konstitusi.
“Hukuman mati berkaitan erat dengan hak hidup (the right to life) yang merupakan mahkota HAM. Sebagai kategori non-derogable right, negara dibebankan positive obligation untuk melindungi dan memastikan hak hidup,” ujar Wakil Ketua Internal Komnas HAM Munafrizal mengawali paparannya dalam Webinar "Jerat Pidana Korupsi Dana Bansos di Masa Pandemi: Ketok Palu Hukuman Mati, Sesuai HAM atau Konstitusi?" pada akhir pekan medio Januari 2021 lalu.
Hukum internasional belum tegas melarang penerapan hukuman mati secara mengikat bagi semua negara di dunia, sehingga saat ini baru diatur mengenai pembatasan penerapan hukuman mati. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) Pasal 6 ayat 2 mengatur pembolehan penerapan hukuman mati dengan syarat khusus.
Beberapa syaratnya, antara lain: hanya untuk kejahatan sangat serius (the most serious crimes), sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan dilakukan, tidak bertentangan dengan ICCPR dan the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, serta hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan final oleh pengadilan berwenang.
Sementara, pembatasan praktik hukuman mati mencakup jenis kejahatan (narkoba, ekonomi, korupsi), klasifikasi orang (pengecualian kepada anak-anak, perempuan hamil), dan prosedur menerapkan hukuman mati (putusan pengadilan dan pilihan terakhir).
Pengaturan yang tegas mengenai penghapusan hukuman mati, imbuh Munafrizal baru mulai dituangkan dalam The Second Optional Protocol to the ICCPR yang diadopsi tahun 1989 dan berlaku tahun 1991. Namun protokol tersebut hanya berlaku bagi negara pihak yang telah meratifikasinya.
“Hingga tahun 2020, sebanyak 88 negara dari 173 negara pihak peratifikasi ICCPR juga telah meratifikasi dan menyetujui the Second Optional Protocol to ICCPR,” urai Munafrizal.
Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Lembar Negara RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Namun, Indonesia masih belum meratifikasi the Second Optional Protocol to ICCPR.
Secara de jure, hukum positif Indonesia masih menerapkan pidana mati yang dituangkan dalam sejumlah Undang-Undang, antara lain KUHP, Pengadilan HAM, Tindak Pidana Terorisme,Tindak Pidana Korupsi, serta Narkotika.
“Dalam RUU KUHP, hukuman mati masih akan diberlakukan. Namun pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun berdasarkan alasan tertentu. Jika terpidana selama masa percobaan bersikap dan berbuat terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun,” kata Manan.
Ia pun menyimpulkan bahwa menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia tampaknya masih sulit direalisasikan, meski eksekusi hukuman mati tidak selaras dengan prinsip HAM dan tren global penolakan hukuman mati. Sedangkan opsi moratorium hukuman mati bukanlah solusi jangka panjang karena moratorium bermakna sekedar menunda atau menangguhkan.
“Opsi lain yang dapat dipertimbangkan untuk konteks Indonesia adalah terminasi hukuman mati. Secara de jure normatif, biarkan saja dalam sistem hukum Indonesia tetapi secara de facto empirik, lembaga peradilan perlu berkomitmen tidak menerapkan hukuman mati dalam putusannya,” tegas Munafrizal.
Dalam webinar ini turut hadir pula dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Muhammad Rustamaji sebagai narasumber (SP/IW).
Short link