Kabar Latuharhary – Berdasarkan Catatan Komnas Perempuan,
terjadi peningkatan pengaduan langsung kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan. Selain itu tercatat juga meningkatnya kriminalisasi terhadap
Perempuan Pembela HAM. Isu Perempuan Pembela HAM ini biasanya terjadi kepada
perempuan yang bergerak di lapangan untuk mempertahankan tanah dan sumber daya
alam, yang berhadapan dengan pertambangan, perkebunan, dan lain-lain.
Berikut disampaikan Komisioner
Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga, saat menjadi narasumber dalam Webinar
Perempuan, Politik, dan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh KITA Indonesia pada Rabu, 22
Desember 2021. Menurut Sandra, salah satu kondisi yang darurat saat
ini adalah kekerasan seksual. Begitu banyak korban kekerasan seksual adalah perempuan disabilitas yang
tidak bisa bersuara dan melaporkan apa yang terjadi. “Ada
situasi di mana kekerasan
seksual itu menjadi seperti culture. Orang dengan bebasnya melakukan
kekerasan seksual dan bahkan kepada anaknya, adiknya, dan tetangganya,” jelas
Sandra.
Jika dihubungkan dengan hukum yang
ada, Peraturan Perundang-Undangan yang ada pun masih belum memadai. Seperti
halnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang
sudah dimulai sejak 2012 namun belum disahkan sampai saat ini. Tidak hanya itu
saja, menurut Sandra, Indonesia juga mengalami defisit perempuan pada kalangan
yang membuat kebijakan, pada lembaga legislasi, sebagai pejabat publik dan pada
institusi penegak hukum. Defisit perempuan masih terjadi di berbagai lini yang
ada di baris depan dalam konteks merekonstruksi kultur masyarakat tentang
bagaimana berelasi dengan perempuan, untuk menghormati hak-hak perempuan dan
lain-lain. Masih sangat sedikit pula perempuan menjadi pejabat yang bisa
menjadi pengambil keputusan yang mewarnai pendidikan. “Ketika
kita berbicara terjadinya kekerasan seksual ada persoalan kultural, persoalan
peraturan perundang-undangan, dan persoalan kelembagaan. Bagaimana institusi
penegak hukum selama ini berfungsi,” papar Sandra.
Komnas HAM bersama dengan Litbang
Kompas melakukan penelitian terkait hak atas keadilan. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan hasil yang menarik bahwa mayoritas masyarakat lebih
percaya dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga dengan tokoh-tokoh adat ketika
ada persoalan untuk mengadukan kasusnya.
Terkait kondisi di lapangan, sampai
saat ini isu kekerasan perempuan lebih banyak ditangani oleh Komnas Perempuan
dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, Komnas HAM pun juga
menangani beberapa kasus. Sandra mencontohkan seperti kasus kekerasan seksual
di Gereja Depok dan yang terbaru kasus yang ada di Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). “Untuk kasus KPI, KPI menindaklanjuti
rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” kata Sandra.
Komnas HAM pun di lapangan juga terus
melakukan koordinasi. Seperti dengan melihat siapa yang menjadi pendamping
korban, yang selama ini dilakukan Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK). Komnas HAM juga melakukan koordinasi dengan polisi dan
Kompolnas jika ada dugaan pelanggaran yang dilakukan polisi. Tak hanya itu,
koordinasi juga terus dilakukan dengan pemerintah daerah.
Isu kekerasan seksual tidak bisa
disamakan dengan yang lainnya. Korban kekerasan seksual tidak sederhana, tidak
semua mau bicara. Bahkan ada yang sudah mau bersuara, namun ketika sudah
bicara, bisa juga berubah karena tekanan-tekanan yang ada sehingga pendampingan yang dilakukan
pun harus lebih intens dan berbeda.
Sandra kemudian menegaskan bahwa
persoalan HAM memang tidak terpisahkan dari isu politik. Menurutnya, Kondisi
HAM dipengaruhi oleh struktur kebijakan, peraturan perundangan, dan kultur dari masyarakat.
Pelanggaran HAM bisa dicegah dan dikurangi salah satunya jika ada perombakan
kebijakan dan kultur masyarakat yang ada.
Dalam Webinar ini, hadir pula sebagai
narasumber yaitu Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Anggota DPD RI Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan Ratih Ibrahim (Psikolog Klinis) yang juga memberikan
pandangannnya mengenai kondisi dan peran perempuan di Indonesia. Penulis : Utari Putri W Editor : Sri Rahayu
Short link