Kabar Latuharhary – Freedom of
Religion or Belief (FoRB) atau Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan bagian dari demokrasi. Demokrasi
yang dimulai sejak 1998 telah memberikan ruang lebih luas bagi KBB di
Indonesia. Untuk merawat keberagaman agama, diperlukan komunikasi dalam ruang
diskusi berskala nasional maupun global sebagai langkah menjawab tantangan
intoleransi.
“Diskriminasi dalam Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dapat dijembatani melalui toleransi” ujar Beka
Ulung Hapsara, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.
Hal itu Beka sampaikan saat menjadi
narasumber dalam Workshop bertajuk “Freedom of Religion or Belief
(FoRB), Religious Freedom and Intolerance: Prospects and Challenges of UN
Resolution 16/18”. Acara itu diselenggarakan secara daring oleh The
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan EU-Indonesia
Partnership Facility pada Senin, 06 Desember 2021.
Selain Komisioner komnas HAM, acara itu juga dihadiri
oleh Head of the Political Section, EU Delegation to Indonesia, Margus Solnson,
Policy Officer European External Action Service (EEAS) GLOBAL 1 - Human Rights,
Raphael Warolin, Former UN Special Rapporteur for FoRB and Professor of
Human Rights and Human Rights Policy at the University of Erlangen, Heiner
Bielefeldt, Former-MP, Founder and Board Member of Asian Parliamentarians
for Human Rights, Eva Sundari, Human Rights Working Group Jakarta, Rafendi
Djamin, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Zainal
Abidin Bagir, Main Expert Staff, Office of the Presidential Chief of Staff,
Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Indonesian Consortium for Religious Studies
(ICRS), Dicky Sofjan sebagai Moderator.
Mengawali pemaparan, Beka mengatakan
bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia sikap toleransi merupakan pilar yang
penting dalam merawat keberagaman. Sikap toleransi perlu disebarluaskan di
Indonesia sebagai negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam suku,
agama, budaya dan bahasa serta sangat dekat dengan isu diskriminasi
dan intoleransi.
“Ruang-ruang dialog untuk menjembatani
keberagaman agama diharapkan menjadi media untuk menumbuhkan sikap saling
menghormati, menghargai, dan toleransi,” kata Beka melanjutkan.
Beka kemudian berbagi pengalaman
terkait penanganan kasus pelanggaran HAM Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
yang ditangani oleh Komnas HAM. Beberapa kasus yang ditangani oleh Komnas HAM diantaranya adalah kasus sengketa
pendirian rumah ibadah Jemaat Gereja Baptis Indonesia Tlogosari di Semarang,
Jemaat Ahmadiyah di Surabaya, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Sukabumi, hak atas
pendidikan siswa Yayasan Imam Syafi’i di Jawa Timur, dan lain sebagainya.
“Kasus yang paling menonjol
dari pelanggaran hak KBB di 2020-2021 adalah pelarangan kegiatan, intimidasi
dan ganguan tempat ibadah,” ungkap Beka. Situasi KBB di masa pandemi
merupakan kelanjutan dari situasi sebelumnya.
“Problematika KBB adalah kebijakan, kapasitas aparat, penegakan hukum, aliran heterodoks atau tuduhan aliran sesat dalam internal agama, segregasi, konservatisme, dan peningkatan kapasitas koesif warga,” ujar Beka menjelaskan.
Beka mengatakan bahwa sebagai langkah
preventif Komnas HAM telah membuat sejumlah upaya. Diantaranya
adalah penyusunan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan, pembuatan buku saku HAM dan manual pelatihan anggota Polri,
kertas posisi Kabupaten/Kota HAM, serta penyebarluasan wawasan HAM melalui
Festival HAM, program tanggap rasa dan pelatihan-pelatihan HAM kepada anggota
Polri.
“Dalam pidato Hari HAM 2021, Presiden
RI Joko Widodo mengatakan bahwa penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM
menjadi pilar penting bagi Indonesia
untuk menjadi bangsa yang lebih beradab, tangguh, dan maju. Oleh karena itu,
Komnas HAM akan terus berupaya memaksimalkan perannya dalam mendorong KBB di
Indonesia,” pungkas Beka.
Penulis:
Feri Lubis
Editor: Christi Ningsih
Short link