Jakarta – Penerapan hukuman mati di Indonesia selalu menjadi isu yang belum tuntas. Efektivitas hukuman mati juga dipertanyakan karena tidak relevan dengan konstitusi di Indonesia.
“Ada apa dengan Indonesia? Di saat 109 negara dari total 144 negara anggota PBB menghapus hukuman mati, kita malah menjatuhkan vonis hukuman mati," ujar Komisioner Komnas HAM RI Sandra Moniaga dalam National Conference: Analyzing the Death Penalty Threat to Vulnerable Groups yang diselenggarakan oleh KontraS secara hybrid dari Mercure Hotel Jakarta, Rabu (3/11/2021).
Secara verbal diungkap Sandra, UUD 1945 mengakui adanya hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi atau non-derogable rights. Dalam Pasal 28 huruf A UUD 1945 menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara, pasal 28 huruf G ayat (2) menetapkan setiap orang memilki hak untuk bebas dari penyiksaan (torture) dan bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Disebut Sandra, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa hak hidup adalah supreme human rights di mana bila tidak dipenuhi, maka hak asasi lain tidak akan terpenuhi. Selain itu, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang keji dan tidak manusiawi yang tercantum dengan jelas dalam Kovenan Internasional Anti Penyiksaan dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
"Seharusnya Indonesia menghapus hukuman mati secara total. Jika negara tetap menerapkan hukuman mati seharusnya disertai beberapa pembatasan. Hukuman mati tidak bisa diterapkan kecuali pada kejahatan paling serius, yakni pembunuhan yang terencana, sistematis dan meluas. Kedua, adanya jaminan pemeriksaan dan proses hukum yang adil,” jelas Sandra.
Sampai saat ini terdapat 30 jenis kejahatan yang dapat diancam hukuman mati. Berdasarkan Data dari Komnas Perempuan, hingga Mei 2021 terdapat 386 terpidana mati, dan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) per 18 Oktober 2021 mencapai 420 terpidana mati.
"Hukuman mati merupakan bentuk pemidanaan yang inkonstitusional. Menurut konstitusi, hak hidup merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," ungkap Sandra.
Komnas HAM RI sejak awal telah memberi perhatian serius pada permasalahan fundamental dari hukuman mati. “Sempat ada pemantauan berkala atas kondisi para terpidana mati. Pada tahun 2016, Sidang Paripurna Komnas HAM RI memutuskan sikap kelembagaan Komnas HAM RI menolak hukuman mati,” ungkap Sandra.
Pada tahun 2016, Komnas HAM RI mulai bekerja sama dengan Komnas Perempuan, KPAI, ORI dan LPSK, yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), untuk mewujudkan penghapusan penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat di Indonesia dengan fokus pada tahanan dan tempat-tempat serupa tahanan. Salah satu fokus dari kerja bersama itu adalah penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat yang dialami oleh para terpidana mati.
Pada tahun 2019 dan 2020 KuPP bekerja sama dengan ICJR untuk melakukan assessment yang kemudian dituangkan dalam salah satu Kertas Kebijakan KuPP berjudul “Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati” yang diterbitkan pada 2020.
Panelis lain dalam forum ini di antaranya Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro, Manajer Program KuPP Antonio Prajasto, Koordinator KontraS Fatiah M, Staf Badan Pekerja Komnas Perempuan Wiandatias, Erasmus Napitupulu (ICJR), Anni (keluarga korban terpidana mati), perwakilan Ditjen Pas Kemenkumham RI, Afif Abdul Qoyim (Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat), Era Purnama Sari (YLBHI), Raynov Tumorang (LeIP) dan lain-lain. (AAP/IW)
Short link