Kabar Latuharhary – Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), prinsip saling menghargai dan menghormati merupakan pilar yang penting dalam merawat keberagaman. Indonesia sebagai negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya dan bahasa sangat dekat dengan isu diskriminasi dan intoleransi. Ruang-ruang dialog antar pemeluk agama diharapkan menjadi media untuk menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai, dan toleransi.
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya,” ujar Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan penelitian Komnas HAM.
Hal itu Sandra sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Agama-Agama (SAA) ke-36 bertajuk “Umat Beragama Mengelola dan Mengadvokasi keberagaman di Indonesia”. Acara itu diselenggarakan secara daring dan luring di Pontianak oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada Rabu, 24 November 2021.
Selain Komisioner komnas HAM, acara itu juga dihadiri oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, Pakar Aliansi kebangsaan, Prof. Yudi Latif dan Ketua Komisi Hubungan antar Umat Beragama MUI Kalimantan Barat, Syamsul Hidayat.
Mengawali pemaparan, Sandra mengatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional di Indonesia. Hal itu dituangkan dalam Pasal 28E Ayat 1 (satu) Undang-Undang Dasar 1945.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” tutur Sanda membacakan bunyi pasal tersebut.
Sandra kemudian berbagi pengalaman terkait penanganan kasus pelanggaran HAM Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang ditangani oleh Komnas HAM.
“Jumlah kasus pelanggaran hak atas KBB yang diterima dan ditangani Komnas HAM melalui fungsi Pemantauan dan Penyelidikan pada Januari 2020 hingga Juni 2021 berjumlah dua puluh lima kasus,” ucap Sandra.
Sandra kemudian mengungkapkan beberapa kasus yang juga ditangani oleh fungsi mediasi. Diantaranya adalah kasus sengketa pendirian rumah ibadah Jemaat Gereja Baptis Indonesia Tlogosari di Semarang, Jemaat Ahmadiyah di Surabaya, Kab. Sintang, dan Kab. Sukabumi, hak atas pendidikan siswa Yayasan Imam Syafi’i di Jawa Timur, dan lain sebagainya.
“Kasus yang paling menonjol dari pelanggaran hak KBB di 2020-2021 adalah pelarangan kegiatan, ganguan tempat ibadah,” lanjut Sandra lagi. Situasi KBB di masa pandemi merupakan kelanjutan dari situasi sebelumnya meski sebagian ada yang khas.
“Problematika KBB adalah kebijakan, kapasitas aparat, penegakan hukum, aliran heterodoks atau tuduhan aliran sesat dalam internal agama, segregasi, konservatisme, dan peningkatan kapasitas koesif warga,” ujar Sandra menjelaskan.
Sandra mengatakan bahwa sebagai langkah preventif, Komnas HAM melalui Biro Pemajuan HAM telah membuat sejumlah upaya. Diantaranya adalah penyusunan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pembuatan buku saku HAM dan manual pelatihan anggota Polri, kertas posisi Kabupaten/Kota HAM, serta penyebarluasan wawasan HAM melalui Fetival HAM, program tanggap rasa dan pelatihan-pelatihan HAM kepada anggota Polri.
“KBB merupakan HAM, dan Komnas HAM akan terus berupaya memaksimalkan perannya dalam penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia,” tutup Sandra memberikan materi.
Penulis: Feri Lubis
Editor: Christi Ningsih
Short link