Kabar Latuharhary – Dari tahun ke tahun kasus karena konflik beragama dan kepercayaan selalu muncul. Komnas HAM telah berusaha seoptimal mungkin untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus tersebut, dengan terus mengingatkan semua pihak agar perbedaan jangan dijadikan sumber perpecahan tapi dijadikan sumber kerukunan dan perdamaian.
“Kerukunan antar umat beragama pada dasarnya, dinilai mampu menjadi modal bagi kerukunan bangsa,” kata Beka Ulung Hapsara Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM dalam “Ngobar” (Ngobrol Bareng), Road to Festival HAM 2021”. Acara ini ditayangkan oleh Trijaya FM Semarang, Senin, 15 November 2021.
Selanjutnya Beka -- panggilan Beka Ulung Hapsara – menyatakan bahwa kasus-kasus konflik keberagaman di Indonesia ditambah masifnya hoaks di media sosial telah menjadi tantangan tersendiri bagi kerukunan umat beragama di Indonesia.
“Tren atau kecenderungan kasus-kasus konflik keberagamaan di Indonesia masih tinggi, sehingga harus segera diatasi,” ucap Beka. Menurut Beka, kecenderungan konflik tersebut, tidak hanya muncul dari persoalan antar pemeluk agama yang berbeda saja. Potensi konflik juga terjadi antar umat beragama yang sama, namun alirannya berbeda dan memiliki kecenderungan sama untuk beradu kepentingan.
Beka mengungkapkan bahwa terkait konflik tersebut, ada persoalan-persoalan yang membuat konflik tersebut menjadi lama dan tak kunjung usai. “Pertama, mereka yang masih bersengketa/konflik ini masih mempertahankan ego dan kepentingannya masing-masing. Padahal, kalau kita melihat pada akar masalah, ada hak konstitusi yang bisa mempertemukan mereka semua,” ucap Beka.
Kedua, menurut Beka, selama ini mereka yang berkonflik mungkin saja malu ketika harus mengalah. Harus ada instansi atau lembaga negara yang mampu membuka sedikit pintu ego tersebut, sehingga pihak-pihak yang berkonflik mampu menyetujui atau bersepakat dengan tawaran-tawaran yang ada. Ketiga, lebih banyak pihak lain yang tidak berkepentingan secara langsung, terkadang malah memperkeruh situasi.
Selain hal-hal tersebut, masifnya sebaran hoaks di berbagai media sosial, juga mampu mengadu domba dan menimbulkan ketegangan antar masyarakat, bahkan antar umat beragama. Hal tersebut mampu menimbulkan potensi konflik yang tidak hanya terjadi di media sosial, namun juga dapat menjadi sebuah konflik sosial. “Hoaks itu tidak boleh dianggap enteng, apalagi sudah menggunakan sosial media,” ucap Beka.
Beka kemudian menceritakan peristiwa yang telah dikisahkan kembali dalam sebuah film dan memenangkan piala Oscar, yaitu “Hotel Rwanda”. Film tersebut bercerita tentang peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda, Afrika Timur. Terdapat sekitar 900 ribu orang terbunuh dari suku Hutu dan Tutsi yang berawal dari hoaks. “Oleh karena itu, hoaks tidak boleh dianggap enteng dan kita juga tidak boleh lepas dari kewaspadaan kita,” tutur Beka.
Menurut Beka, kewaspadaan tersebut pertama misalnya, menyaring informasi terlebih dahulu apakah sudah benar atau salah (saring sebelum sharing). Kedua, menyaring tindakan atau respon kita, sehingga dapat menyalurkannya dengan baik, sehingga tidak terburu-buru dan malah menambah masalah. “Kalau memang ada yang memiliki unsur-unsur pidana, bisa lapor ke polisi atau aparat sipil negara yang lain, untuk kemudian mereka mengambil yang tindakan,” ujar Beka.
Beka kemudian menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga mandiri yang memiliki fungsi sesuai mandat undang-undang. “Komnas HAM salah satu fungsinya adalah mediasi, selain memberikan rekomendasi, kami juga melakukan upaya mediasi atau mempertemukan pihak-pihak yang masih mempertahankan pendapat/kepentingannya atau untuk duduk bersama dalam satu meja dan mencari titik temu,” ucap Beka.
Beka menegaskan bahwa dalam hukum hak asasi manusia (HAM), negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, memenuhi juga menegakkan HAM. Sedangkan warga negara hanya memiliki satu kewajiban, yaitu menghormati hak orang lain.
“Yang penting kemudian adalah adanya keteguhan atau ketegasan dari pemerintah daerah bahwa pemenuhan hak konstitusi adalah amanat konstitusi, itu yang penting. Memenuhi hak konstitusi warga negara. Jadi, saya sepakat kalau HAM itu akan tegak, jika aparat negaranya memberikan contoh. Karena pada titik itulah sebenarnya negara memiliki kewajiban itu,” ucap Beka.
Penulis : Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Short link