Kabar Latuharhary – Akhir-akhir ini di media massa sedang ramai membincang tentang amandemen UUD 1945 (Konstitusi). Sebagian masyarakat pro sebagian lainnya kontra. Menanggapi pro dan kontra tersebut, Hairansyah Komisioner Mediasi Komnas HAM menyatakan amandemen Konstitusi boleh saja. “Tapi, harus dipastikan amandemen tersebut untuk memperkuat pelindungan hak asasi manusia (HAM), bukan memperlemahnya,” ucap Hairansyah dalam Diskusi Publik online dengan tema: “Urgensi Amandemen ke-5 UUD 1945 di Tengah Pandemi Covid-19”. Diskusi Publik tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia Koordinator Wilayah DKI Jakarta (ISMAHI Korwil DKI Jakarta), Jumat 22 Oktober 2021.
Selanjutnya, Hairansyah menyampaikan bahwa untuk melakukan amandemen dibutuhkan beberapa syarat seperti momen konstitusional. “Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terutama di Indonesia, dalam banyak kasus tentu harus ada yang disebut dengan constitutional moment-nya,” kata Hairansyah.
Hairansyah kemudian menerangkan bahwa dari beberapa kasus yang juga terjadi di berbagai negara lain, ada momentum yang terkait dengan perubahan konstitusi tersebut. “Dari beberapa literatur, saya kira constitutional moment ini juga terkait dengan apakah akan terjadi peristiwa sosial dan krisis ekonomi dalam sebuah negara? Apakah ada terjadi sebuah revolusi? Apakah sebuah runtuhnya rezim, sehingga diperlukan amandemen UUD,” tutur Hairansyah.
Selanjutnya selain revolusi atau runtuhnya sebuah rezim, momentum lain menurut Hairansyah misalnya, adanya ketakutan akan runtuhnya sebuah rezim. “Jadi, selain runtuhnya sebuah rezim, constitutional moment ini juga dimungkinkan kalau ada ketakutan akan runtuhnya sebuah rezim, lalu ingin melakukan perubahan,” kata Hairansyah. Hal ini juga terkait kekalahan dalam sebuah perang, rekonstruksi pasca perang, pembentukan sebuah negara baru, dan kemerdekaan dari kekuasaan koloni di Indonesia.
Menilik layak tidaknya sebuah reformasi konstitusi dalam hal ini amandemen UUD, menurut Hairansyah tidak hanya tergantung pada pakem hukum yang mengatur metode perubahan tersebut, tetapi juga terkait konfigurasi kelompok politik dan sosial. Demikian karena menurut Hairansyah pendekatan reformasi konstitusi adalah soal pendekatan politik, maka sangat tergantung dari konfigurasi politik yang ada. “Jadi tidak hanya sekadar disediakan di dalam mekanisme UUD itu sendiri tentang perubahannya, tetapi juga sangat tergantung pada kontribusi kelompok politik dan sosial yang ada,” ucap Hairansyah.
Hairansyah kemudian menyoroti soal dorongan sosial politik untuk amandemen konstitusi di Indonesia, terutama dalam masa pandemi ini. Menurut Hairansyah, situasi pandemi justru seringkali dijadikan semacam ruang untuk melakukan pembuatan UU yang tidak cukup progresif atau demokratis. Demikian karena partisipasi publiknya menjadi sangat minim dan terbatas sebagai akibat dari situasi pandemi Covid-19.
“Kita tahulah ada beberapa UU justru dibuat dan ditetapkan di masa-masa pandemic Covid-19 yang kemarin sedang tinggi-tingginya. Padahal undang-undang itu cukup strategis untuk dibicarakan secara lebih luas, sehingga tidak menimbulkan problem di kemudian hari,” ujar Hairansyah.
Hairansyah juga menekankan bahwa amandemen konstitusi itu menurutnya harus didasarkan pada pengalaman buruk dalam berkonstitusi sebelumnya, bukan sebaliknya. “Jadi kalau kita mau melakukan perubahan, tentu harus melihat apa yang menjadi kelemahan dari konstitusi sebelumnya. Bukan sebaliknya, menjadi mundur dari yang sudah maju. Itu yang saya kira penting dari constitutional moment yang ada,” ucap Hairansyah.
Lebih dalam lagi menurut Hairansyah, ada beberapa hal yang diperlukan dalam sebuah amandemen konstitusi. Pertama, menurutnya terkait penguatan bikameral antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). “Bagaimana DPD sendiri diperkuat fungsinya dan mekanisme pemilihannya. Sehingga, check and balances antar lembaga-lembaga negara terutama antara DPD yang mewakili wilayah dan DPR yang mewakili penduduk, bisa balancing dalam pelaksanaan tugasnya,” tutur Hairansyah. (Bikameral adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen).
Kedua, terkait penguatan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Hairansyah dengan adanya penguatan pelindungan HAM, maka menjadikannya bagian dari konstitusi di Indonesia. “Oleh karena itu, kita bisa mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi constitutional complaint. Posisi MK tidak hanya soal menguji UUD, tetapi juga menguji penerapan UUD di dalam implementasinya. Jadi MK didorong juga untuk mengadili soal itu,” kata Hairansyah. (Constitutional complaint adalah pengaduan yang diajukan oleh perorangan warga negara ke hadapan pengadilan, khususnya MK karena suatu perbuatan pejabat publik, atau tidak berbuatnya pejabat publik, telah menyebabkan dirugikannya hak konstitusional warga negara yang bersangkutan).
Terakhir terkait penguatan rule of law, dalam hal ini penguatan independent agency, (lembaga-lembaga yang bersifat independen) dan penguatan good governance (penguatan KPK maupun ombudsman). “Jadikan lembaga-lembaga itu organ konstitusi, kalau selama ini kan hanya organ UU yang mudah untuk dilakukan perubahan dan pelemahan,” ucap Hairansyah.
Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Short link