Kabar Latuharhary – Sejak tahun 2016, Komnas HAM secara tegas menyatakan menolak hukuman mati dan menuntut kepada pemerintah dan semua pihak di Indonesia, untuk menghapus hukuman mati dari berbagai hukum yang ada. Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga ketika memberikan kata sambutan pada kegiatan pemutaran film dan diskusi “Hukuman Mati dan Dimensi Kekerasan Berbasis Gender serta Penyiksaan terhadap Perempuan” yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, pada Senin (18 Oktober 2021).
“Komnas HAM berpendapat, hukuman mati adalah inkonstitusional. Sejak amademen konstitusi, kita tahu Indonesia sudah membuat pasal-pasal HAM. Dan hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi, demikian juga hak untuk bebas dari penyiksaan. Jadi, dengan adanya prinsip-prinsip ini, semestinya semua undang-undang yang masih berlaku hukuman mati tersebut harus direvisi,” ujar Sandra
Sandra menyampaikan bahwa hukuman mati ini juga menimbulkan dampak terhadap penyiksaan yang luar biasa. Komnas HAM terus mempertanyakan fenomena ‘deret tunggu’ sebagai satu dampak adanya putusan hukuman mati. Dan pada 2020, lanjut Sandra Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KUPP) yang terdiri dari 5 (lima) lembaga yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerbitkan satu policy brief atau kertas posisi berjudul “Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati”.
“Lima lembaga yang tergabung dalam KUPP tersebut sepakat bahwa fenomena deret tunggu merupakan tindakan penyiksaan yang sangat serius. Ketika seseorang harus menunggu satu keputusan kapan dirinya akan dibunuh atau dieksekusi, tetapi tidak tahu kapan waktunya. Dan kedua, fenomena ini banyak menimbulkan masalah kejiwaan dan efek lainnya,”ucap Sandra
Di Indonesia sendiri kurang lebih ada 30 (tiga puluh) jenis kejahatan yang dapat diancam hukuman mati. Sandra menyampaikan pada 2018, terdapat 48 (empat puluh delapan) vonis hukuman mati, sementara itu pada 2019 meningkat menjadi 80 vonis. Menurut catatan Komnas Perempuan per 31 Mei 2021 terdapat 386 (tiga ratus delapan puluh enam) terpidana mati dan 10 (sepuluh) diantaranya perempuan.
“Hal ini terjadi ketika sebagian besar negara telah menghapus hukuman mati, sedangkan di Indonesia hukuman mati tetap dijalankan. Apa yang harus kita lakukan? Pertama, penghapusan hukuman mati dari semua peraturan perundangan di Indonesia, yang paling dekat adalah RKUHP. Dan yang kedua adalah penyelesaian masalah fenomena deret hukum,” kata Sandra
Sebagai penutup, Sandra memberikan penghargaan khusus terhadap Komnas Perempuan yang telah memproduksi satu film dokumenter khusus tentang terpidana mati. Karena, memang film terkait hukuman mati tersebut masih sedikit. “Film memiliki daya jelajah yang berbeda-beda, film memiliki kemampuan masuk ke dalam hati dan pikiran. Persoalan hukuman mati adalah persoalan yang sangat serius dalam HAM dan penggunaan media film menjadi satu alat yang sangat penting dalam upaya advokasi bersama ini,” ungkap Sandra.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menjelaskan bahwa kegiatan kali ini merupakan rangkaian dari peringatan hari internasional untuk menentang hukuman mati yang jatuh pada 10 Oktober setiap tahunnya. Andy menjelaskan bahwa hak hidup adalah sebuah hak asasi manusia yang hakiki dan fundamental, serta tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan hal ini merupakan mandat di dalam Konstitusi.
“Namun disaat yang bersamaan, kita menghadapi realita masih ada kontradiksi antara mandat konstitusi ini dengan bagaimana sistem hukum yang ada di tingkat nasional. Kita tahu hukuman mati masih diberlakukan untuk sejumlah tindak pidana maupun pemberatan atas tindak pidana tertentu. Dan kerap kali, perempuan-perempuan yang menghadapi vonis hukuman mati tersebut ialah warga yang di tahap awalnya merupakan korban kekerasan. Kalau kita lihat dari kajian yang ada, sering kali perempuan yang menjadi terpidana hukuman mati adalah korban dari kekerasan di dalam rumah tangga. Misalnya, upaya untuk perlawanan atau pembelaan diri, atau karena deraan psikologis, seksual dan fisik yang begitu luar biasanya dia hadapi akhirnya mengambil tindakan penghilangan nyawa,” tutur Andy
Andy menyampaikan bahwa hukuman mati adalah salah satu bentuk hukuman yang diharapkan akan dihapuskan secara global oleh karenanya secara khusus menjadi perhatian dari Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang no 5 tahun 1998.
“Sebetulnya sudah banyak negara yang telah menghapuskan hukuman mati, dan tentunya perhatian pada dimensi gender dari pengalaman perempuan terhadap hukuman mati ini menjadi salah satu alasan untuk mendorong penghapusan hukuman mati. Kita belum terlambat untuk memastikan upaya menentang hukuman mati ini dapat dilaksanakan. Dan semoga dengan advokasi ini, bukan saja kita bisa memastikan atau meneguhkan cita-cita Indonesia setelah 76 tahun menjadi bangsa yang beradab tetapi juga menjadi bagian model kepimpinan dunia dalam upaya penegakan hak asasi manusia,” kata Andy.
Penulis : Annisa Radhia
Editor : Banu Abdillah
Short link