Kabar Latuharhary – “Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM dibuat untuk memudahkan dalam menafsirkan hak-hak dan cakupan pada hak-hak tertentu,” hal ini diungkapkan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam ketika menjadi narasumber diskusi terkait Evaluasi Kasus Hukum dan Pendampingan Kasus Paralegal Komunitas, yang diselenggarakan secara daring oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC) pada Jumat, 8 Oktober 2021.
“Kalau hanya sekedar membaca Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang HAM, membaca beberapa pasal seperti hak atas kesehatan misalnya, hanya di pasal itu saja menjelaskannya. Namun bagaimana menjalankannya, bagaimana teknisnya, cakupannya seluas apa dan lain sebagainya, tidak akan ketemu. Oleh karena itu, kami membuat SNP yang yang kami dorong untuk dipakai oleh semua institusi pemerintah dan penegak hukum. Karena ketika kami membuat SNP juga melibatkan mereka,” ucap Anam.
Anam menyampaikan bahwa Komnas HAM telah menerbitkan 6 SNP, meliputi SNP Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Hak Beragama dan Berkeyakinan, Hak Berkumpul dan Berorganisasi, Hak atas Kesehatan, serta Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Kemudian pada 7 September 2021 Komnas HAM mengesahkan SNP Pembela HAM. Bertepatan dengan hari meninggalnya aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang juga ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM.
“Standar Norma dan Pengaturan (SNP) ini dapat digunakan, termasuk dalam pembelaan-pembelaan hukum. Hal yang paling penting dalam SNP adalah memberikan ruang yang luas pada cakupan - cakupan HAM dan memberikan batasan, khususnya kepada penyelenggara Negara. Persoalan HAM ini bukan hanya mengenai pelaksanaan saja, tetapi juga soal tafsir. Terkadang soal tafsir ini lebih berbahaya dari pelaksanaan,” ujar Anam.
Status pendampingan dalam konteks HAM, lanjut Anam ketika seseorang kerjanya untuk kepentingan korban pelanggaran HAM, kepentingan nilai – nilai kemanusiaan. Komnas HAM memiliki istilah sendiri yakni Pembela HAM atau Human Rights Defender yang bisa mendapatkan perlindungan.
“Bagaimana kalau ada para legal diancam atau fungsinya tidak boleh dijalankan dengan baik? Kalau kami memandangkan sebagai Pembela HAM, itu dapat menjadi salah satu tanggung jawabnya Komnas HAM. Para pembela HAM ini salah satunya adalah pendamping, paralegal, yang menyerahkan masa depannya untuk mendampingi kasus agar orang mendapatkan keadilannya,” kata Anam
Anam menyampaikan masukan kepada paralegal, menurutnya mendampingi suatu kasus, terkadang tidak cukup hanya berbekal semangat, keberanian dan komitmen. Salah satu hal yang biasanya kurang ialah pengetahuan teknis. “Kalau bisa, pengetahuan – pengetahuan teknis ini selalu ada di dalam tas. Sekarang dapat kita list apa saja yang sekiranya sering muncul di permukaan itu harus selalu ada dan di bawa, salah satu contoh ialah Peraturan Menteri Kesehatan. Sehingga, ketika berdebat tidak ribet-ribet. Walaupun pakai internet dapat dicari, tetapi apabila pengetahuan teknis tersebut dijadikan semacam buku saku bagi Paralegal kan menarik, ini loh aturannya dan sebagainya. Kadang – kadang yang seperti itu akan menyelesaikan banyak hal,” ungkap Anam
Perlu disampaikan, Indonesia AIDS Coalition (IAC) telah memiliki komitmen untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam memenuhi target nasional guna mengakhiri AIDS pada tahun 2030. Saat ini, IAC sedang menjalankan program dengan fokus terhadap pemantauan sistem stok obat ARV, advokasi dan pemahaman akan hak-hak dasar warga negara disertai praktik-praktik identifikasi kasus pelanggaran hak serta pendampingan hukum melalui CBMF dan Paralegal Officer di 23 Kota/Kabupaten.
Paralegal komunitas yang telah dibangun oleh IAC sejak 2017, telah melalui serangkaian pelatihan, serta terlibat dalam pendampingan hukum bagi populasi kunci. Peran paralegal komunitas tersebut dianggap penting dalam program penanggulangan HIV. Karena, salah satu faktor pendorong lemahnya jangkauan pengobatan adalah stigma dan diskriminasi.
Penulis : Annisa Radhia
Editor : Banu Abdillah
Short link