Kabar Latuharhary – Kelompok rentan dan minoritas seperti kalangan disabilitas, minoritas agama, gender dan seksualitas di Nusa Tenggara Barat (NTB), Lombok masih dibayang-bayangi tindakan diskriminasi dan intoleransi. Isu-isu agama dan keberagaman sangat mudah viral di tengah perkembangan teknologi yang semakin masif. Guna menepis diskriminasi dan intoleransi tersebut, diperlukan peran dari media-media lokal di NTB untuk memberi ruang aman dalam pemberitaan isu-isu keberagaman.
“Media-media semestinya lebih gencar memainkan peran edukasi lewat konten-konten pemberitaan yang menghormati keberagaman dan memverifikasi berbagai hoax provokatif bernuansa agama atau keyakinan, etnis, dan seksualitas,” ucap Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Ahmad Junaidi saat membuka diskusi bertajuk “Penguatan dan Perluasan Jurnalisme Keberagaman di Nusa Tenggara Barat” melalui aplikasi zoom pada Rabu (06/10/2021).
Alex – sapaan akrab Ahmad Junaidi – mengemukakan maksud diselenggarakannya diskusi yang dihadiri oleh berbagai jurnalis, perwakilan kelompok minoritas dan masyarakat sipil di wilayah NTB. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan membuka peluang kerja sama dalam mencegah dan menanggulangi tindakan-tindakan diskriminasi dan intoleransi di NTB.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mochammad Choirul Anam yang turut hadir dalam diskusi ini memberikan masukan-masukannya. Menurutnya tindakan diskriminasi dan intoleransi dipicu oleh adanya stigma-stigma yang berkembang di masyarakat.
“Ada tekanan dari kondisi sosial yang sudah terstigma, beban stigma tersebut tumbuh dan berkembang di masyarakat dan di pengambil keputusan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi keputusannya,” imbuh Anam.
Anam juga sepakat dengan Alex terkait pentingnya peran jurnalis dan media dalam menjaga keberagaman. Menurutnya stigma memang menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh kelompok-kelompok minoritas, sehingga jika jurnalis atau media tidak tepat dalam memberikan angle berita, maka bukannya menjadi pelindungan namun justru memicu terjadinya kekerasan kepada mereka.
Pada kesempatan ini Anam menghimbau kepada para peserta diskusi agar bersama-sama menarasikan pelindungan hak asasi manusia yang merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Anam pun menyatakan dirinya beserta tim dari Komnas HAM akan terbang ke Lombok menuju Transito pada akhir Oktober ini. “Kami sedang mengagendakan di akhir Oktober untuk ke Lombok, salah satunya ke Transito, Mataram. Jika berkenan mungkin bisa sekalian bertemu dengan teman-teman komunitas, jurnalis, editor, bapak pendeta yang hadir disini untuk berdiskusi lebih lanjut,” ucap Anam.
Pernyataan Anam tersebut disambut baik oleh para peserta diskusi dengan latar belakang beragam, tidak hanya jurnalis dan editor media massa di NTB, namun juga dari Forum Komunikasi Gereja-Gereja Kristen (FKGK) NTB, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) NTB, pengurus cabang Ahmadiyah NTB, eksekutif produser Kompas TV, bahkan dari transpuan Sumbawa. Zainudin Safari seorang editor dari Radio Global FM Lombok misalnya, mengungkapkan jika dialog merupakan cara yang efektif untuk mencari solusi bersama, termasuk solusi atas stigma-stigma yang selama ini menempel pada kelompok-kelompok minoritas.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Hari Reswanto
Short link