Kabar Latuharhary - Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Beka Ulung Hapsara, memberikan respons atas Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam Rilis dan Webinar Survei Opini Publik Nasional SMRC “Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunis” yang diselenggarakan pada Jumat, 1 Oktober 2021.
Beka, sapaan akrab Beka Ulung Hapsara, memulai dengan memberikan respons temuan SMRC terkait Pancasila. Menurut Beka, survei yang ditujukan kepada anak muda (berusia kurang dari 40 tahun) sangat baik. Dengan hasil bahwa 82% responden menyatakan Pancasila adalah rumusan terbaik dan tidak boleh diubah untuk alasan apapun serta 77% responden menyatakan Pemerintah tidak boleh dijalankan hanya menurut pada satu agama saja menunjukkan bagaimana peran pemuda ke depannya. “Mereka (re: pemuda) yang akan menduduki jabatan publik dan mengisi ruang-ruang publik mempunyai bekal yang cukup baik yaitu soal sikap dan posisi mereka terhadap Pancasila,” tegas Beka.
Temuan soal Pancasila tersebut juga memberikan ruang yang cukup untuk mencapai tujuan dari pendirian Komnas HAM yaitu yang disebutkan pada Pasal 75 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Berdasarkan hasil survei, 84% responden tidak setuju pendapat bahwa PKI bangkit. Pada lima (5) tahun terakhir yaitu 2016 s.d 2021 yang percaya bahwa PKI bangkit tidak banyak berubah yaitu sekitar 10-16%. “Hasil survei itu sejalan dengan amatan Komnas HAM soal sikap korban, keluarga korban dan organisasi pendamping keluarga korban. Yang terpenting bagi mereka adalah soal keadilan dan pemulihan korban. Dari peristiwa 65, bukan soal membangkitkan lagi PKI dan komunisme, tapi bagaimana kemudian keadilan yang selama ini hampir 56 tahun coba direbut belum ada tanggung jawab negara jika bicara dari perspektif HAM. Pun demikian dengan pemulihan korban,” tegas Beka. Lebih dari itu, merespons temuan tentang kebangkitan PKI, Beka menyampaikan ada emapt (4) faktor yang bisa membangkitkan emosi dan membentuk persepsi publik yaitu 4F : faith (agama), fear (ketakutan), food (makanan), dan female (perempuan).
Selanjutnya Beka menyampaikan bahwa isu ini merupakan isu politik yang didaur ulang setiap tahun sehingga terus memainkan emosi korban. Akan tetapi, tidak hanya soal politik saja, namun berdampak pada penebalan stigma, trauma, diskriminasi, dan segregasi sosial. Menurut Beka, Komnas HAM harus melindungi korban dan keluarga korban dari permainan atau isu-isu politik yang menebalkan stigma. “Saya mengimbau pada elit-elit politik untuk juga memikirkan korban yang ada karena soal stigma dan trauma yang bertambah dan diskriminasi juga menjadi satu faktor yang terus melekat pada mereka,” lanjut Beka.
Para elit politik harus membangun langkah-langkah untuk menyelesaikan permasalahan yang masih terjadi kepada para korban 1965. Jika isu PKI hanya menjadi permainan bagi kelompok-kelompok tertentu dan didiamkan saja oleh pemerintah, persoalan yang ada tidak akan pernah selesai. "Karena ini akan muncul pada akhir September dan hilang di awal Oktober dan ini berulang setiap tahun tanpa ada upaya penyelesaian yang nyata," jelas Beka.
Beka pun menyampaikan resume hasil penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 1965. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan selama 4 tahun, mulai dari 1 Juni 2008 s.d 30 April 2012. Jelas Beka, jika dilihat dari daerah yang ditinjau langsung oleh Komnas HAM, 65 bukan hanya soal Islam dan komunis saja. Ada banyak bentuk tindakan pelanggaran HAM dalam Peristiwa 1965 yang berdampak trauma, diskriminasi, pemiskinan, penghilangan peran sejarah, dan lain-lain.
Pada 2018, Komnas HAM merumuskan beberapa rekomendasi yang sampai dengan saat ini masih menjadi sikap Komnas HAM bagaimana menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Pertama, Presiden segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya melakukan penyidikan atas 12 (dua belas) berkas penyelidikan yang telah diselesaikan Komnas HAM. Kedua, Presiden dapat menggunakan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang.
“Masih ada celah untuk mendorong rekonsiliasi lewat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Namun harus ada pengungkapan kebenaran terlebih dahulu, lalu rekonsiliasi juga kompensasi, bagaimana rehabilitasi, pemulihan, dan lain-lain. Pada titik itu menjadi penting survei ini untuk menjadi dasar. Pertanyaan mendasarnya apakah dengan kecenderungan 7 (tujuh) tahun tersebut, modal kita sudah cukup kuat untuk menyelesaikan peristiwa 1965 secara adil dan bermartabat,” tutup Beka.
Penulis : Utari Putri
Editor : Sri Rahayu
Short link