Latuharhary – Tren di dunia ini yang paling lekang dan kuat dalam kerangka penanganan terorisme itu adalah dengan criminal justice system bukan war model. Criminal justice system dipilih karena dinilai lebih efektif untuk penanganan tindak terorisme. Komnas HAM memberikan dukungan pada criminal justice system dalam penanganan tindak terorisme dengan pendekatan yang komprehensif. Dari pencegahan sampai pemulihan korban, serta sifatnya tidak ad hoc.
Sejumlah catatan tersebut disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam, dalam webinar “TNI dan Terorisme: Menguji Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme” yang diselenggarakan oleh Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Rabu, (18/11/2020). Menyoal polemik draf Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam penanganan tindak terorisme tersebut, Anam menjelaskan bahwa Komnas HAM sudah mengirimkan surat dan argumentasinya kepada DPR dan Presiden.
“Inti dari argumentasi surat Komnas HAM tersebut adalah pertama kami mengingatkan kembali bahwa penanganan terorisme itu tidak bisa dengan pendekatan war model tetapi dengan criminal justice system. Harus pendekatan yang komprehensif, dari pencegahan sampai pemulihan korban”, jelas Anam.
Kedua, Komnas HAM menolak TNI dilibatkan dalam penanganan tindak terorisme, kecuali hanya menyetujui pelibatan TNI pada level penindakan saja dan dengan catatan, penindakannya dalam skala tertentu. Menurut Anam, adanya kegagalan pada penanganan suatu kasus terorisme yang sangat kuat dan menguasai teritori tertentu, memang pelibatan TNI dibutuhkan. “Misalnya pada ancaman, penggunaan senjata dan dalam kondisi yang sangat serius. Kalau kita bikin skala nya 1 sampai 10, TNI dapat terlibat kalau skala nya 9 sampai 10. Sebelum di angka 9, biarkan kepolisian dan lembaga-lembaga lain yang memang menanganinya. Ketika ada kegagalan kepolisian, TNI bisa masuk, tapi, ini sifatnya ad hoc bukan permanen”, tambahnya.
Sejumlah catatan tersebut disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam, dalam webinar “TNI dan Terorisme: Menguji Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme” yang diselenggarakan oleh Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Rabu, (18/11/2020). Menyoal polemik draf Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam penanganan tindak terorisme tersebut, Anam menjelaskan bahwa Komnas HAM sudah mengirimkan surat dan argumentasinya kepada DPR dan Presiden.
“Inti dari argumentasi surat Komnas HAM tersebut adalah pertama kami mengingatkan kembali bahwa penanganan terorisme itu tidak bisa dengan pendekatan war model tetapi dengan criminal justice system. Harus pendekatan yang komprehensif, dari pencegahan sampai pemulihan korban”, jelas Anam.
Kedua, Komnas HAM menolak TNI dilibatkan dalam penanganan tindak terorisme, kecuali hanya menyetujui pelibatan TNI pada level penindakan saja dan dengan catatan, penindakannya dalam skala tertentu. Menurut Anam, adanya kegagalan pada penanganan suatu kasus terorisme yang sangat kuat dan menguasai teritori tertentu, memang pelibatan TNI dibutuhkan. “Misalnya pada ancaman, penggunaan senjata dan dalam kondisi yang sangat serius. Kalau kita bikin skala nya 1 sampai 10, TNI dapat terlibat kalau skala nya 9 sampai 10. Sebelum di angka 9, biarkan kepolisian dan lembaga-lembaga lain yang memang menanganinya. Ketika ada kegagalan kepolisian, TNI bisa masuk, tapi, ini sifatnya ad hoc bukan permanen”, tambahnya.
/Komnas HAM menyetujui pelibatan TNI pada level penindakan saja, tidak secara keseluruhan. Anam mengungkapkan bahwa pada upaya penangkalan dan pemulihan itu bukan merupakan kewenangan TNI.
“Pada upaya penangkalan, keterlibatannya itu bersifat permanen dan di dalam nya juga ada sifat pencegahan. Biarlah BNPT yang menanganinya dan sebenarnya yang paling utama untuk melawan, menangkal, dan mencegah terorisme itu adalah dunia pendidikan. Begitu juga dalam level pemulihan, tidak ada kewenangan TNI soal pemulihan dan itu bukan karakter dasar TNI", tambah Anam.
Terakhir, Anam kembali menekankan bahwa untuk melawan tindakan terorime itu harus menjadi tanggungjawab kita semua. “Sekali lagi, melawan tindakan terorisme tidak bisa dengan satu pendekatan, tetapi pendekatannya harus komprehensif. Kami di Komnas HAM juga sudah melakukan dialog, kritik, dan juga evaluasi terhadap temen-teman di kepolisian. Sekali lagi, menghadapi tindakan terorisme, pendekatannya itu harus komprehensif”, pungkas Anam. (Niken/Ibn)
“Pada upaya penangkalan, keterlibatannya itu bersifat permanen dan di dalam nya juga ada sifat pencegahan. Biarlah BNPT yang menanganinya dan sebenarnya yang paling utama untuk melawan, menangkal, dan mencegah terorisme itu adalah dunia pendidikan. Begitu juga dalam level pemulihan, tidak ada kewenangan TNI soal pemulihan dan itu bukan karakter dasar TNI", tambah Anam.
Terakhir, Anam kembali menekankan bahwa untuk melawan tindakan terorime itu harus menjadi tanggungjawab kita semua. “Sekali lagi, melawan tindakan terorisme tidak bisa dengan satu pendekatan, tetapi pendekatannya harus komprehensif. Kami di Komnas HAM juga sudah melakukan dialog, kritik, dan juga evaluasi terhadap temen-teman di kepolisian. Sekali lagi, menghadapi tindakan terorisme, pendekatannya itu harus komprehensif”, pungkas Anam. (Niken/Ibn)
Short link