Latuharhary - Perkembangan pandemi COVID-19 di Indonesia yang belum terkendali mengindikasikan proses tanggap darurat yang belum berakhir. Negara didorong untuk memenuhi kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak atas kesehatan sesuai dengan standar Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob).
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik bahkan menggarisbawahi kondisi darurat ekonomi adalah konsekuensi logis dari upaya perlindungan hak atas kesehatan, sehingga perlu adanya realokasi sumber daya strategis untuk penanganan COVID-19 dan penundaan proyek pembangunan infrastruktur berbiaya besar.
“Kalau ada ekonomi versus kesehatan, perspektif hak asasi manusia memandang kesehatan yang nomor satu. Karena dia menyangkut hak untuk hidup – banyak orang yang telah meninggal dunia akibat COVID-19, karena itu kesehatan menjadi sesuatu yang prima, yang utama, tapi memang tidak bisa kita katakan ekonomi kalau begitu kita abaikan, tidak, karena dia saling terkait,” tegasnya dalam Kuliah Umum “Pemenuhan HAM di Tengah Krisis Kesehatan dan Resesi Ekonomi Akibat Cengkeraman COVID-19” yang diselenggarakan oleh Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia secara daring, Sabtu (23/01/2021).
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menegaskan bahwa setiap negara peratifikasi kovenan berkewajiban mengambil langkah, baik secara individu dan melalui bantuan dan kerja sama internasional, terutama ekonomi dan teknis semaksimal mungkin berdasarkan sumber daya yang tersedia. Tujuannya untuk mencapai secara bertahap perwujudan penuh hak-hak yang diakui dalam Kovenan dengan menggunakan semua sarana yang memadai, termasuk pengadopsian tindakan legislatif.
Taufan menyampaikan bahwa dalam mendorong pertanggungjawaban pasal kovenan tersebut, Komnas HAM per 30 Maret 2020 telah mengeluarkan 18 rekomendasi kebijakan. Beberapa di antaranya rekomendasi penguatan legalitas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang dinilai tidak cukup komprehensif dan kurang relevan sebagai dasar penanganan COVID-19 di Indonesia; pengadaan platform kebijakan terpusat; pengurangan jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan dengan dialihkan sementara; layanan kesehatan maksimal bagi korban, keluarga, orang dalam pantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan masyarakat terhadap COVID-19; perlindungan bagi tenaga kerja; hingga perlindungan WNI di luar negeri, khususnya para buruh migran.
Komnas HAM sebagai lembaga hak asasi manusia juga telah mengeluarkan standar norma sebagai dasar perspektif hak asasi manusia bagi tiap kebijakan di era COVID-19, yang secara spesifik menegaskan urgensi pengintegrasian hak atas kesehatan dalam langkah tanggap kedaruratan yang disesuaikan dengan risiko bencana yang terjadi.
“Memang banyak capaian dalam soal-soal tertentu, tapi kan kita ingin dorong terus (penegakan HAM di bidang pelayanan kesehatan). Maka dari itu, perlu dibedah APBN kita; APBN Indonesia sekian, yang dianggarkan untuk COVID-19 sekian – di realokasi, sekian untuk kesehatan, sekian untuk ekonomi. Kita berdebatnya disitu, berkoordinasi disitu,” papar Taufan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang turut menjadi pembicara memaparkan, adanya indikasi menurunnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia saat masa pandemi. Indikator yang terlihat dari langgengnya kekerasan oleh aparat penegak hukum terhadap masyarakat sipil, minimnya keterbukaan informasi yang penuh oleh publik, polarisasi politik, dan pengabaian terhadap pendekatan saintifik menjadi beberapa produk utama yang dilahirkan tata kelola pandemi yang buruk, dan juga menjadi beberapa dari indikasi merosotnya komitmen demokrasi Indonesia. (CI/AAP/IW)
Short link