Latuharhary – Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia.
“Kalau ditelusuri lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, itu diatur juga bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia. Apa artinya? Yang pertama, negara sebagai pemangku kewajiban harus memastikan bahwa setiap orang itu betul dipenuhi, dilindungi dan dihormati haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan kedua, pemaknaan lingkungan yang baik itu adalah lingkungan yang sehat” jelas Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga dalam pemberian pendapat atas perkara tertentu di peradilan (amicus curiae) secara daring oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/1/21).
Amicus curiae atas perkara Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst membahas mengenai hak atas lingkungan, khususnya udara yang bersih dan sehat. Fokus pemberian pendapat ini mengenai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara cq. Pemerintah terkait pengabaian terhadap pemenuhan hak atas udara yang bersih untuk warga Negara cq. warga DKI Jakarta. Penggugat dalam perkara ini, yakni Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota yang digagas oleh Melanie Subono, Asfinawati,Inayah W.D dan lain-lain. Amicus curiae ini didukung data dan kajian oleh Analis Pelanggaran HAM Arief Rahman Tamrin dan Peneliti Komnas HAM RI Agus Suntoro.
Sandra menjelaskan di hadapan majelis hakim bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur pula baku mutu, baik itu baku mutu air, baku mutu udara dan lain sebagainya. Untuk hutan ada keanekaragaman hayati atau biodiversitas. Dalam konteks gugatan perkara ini, imbuhnya, udara bersih merupakan hak asasi yang harus kualitasnya diukur merujuk pada baku mutu yang ditetapkan secara saintifik dan sesuai dengan standar internasional.
Ia kemudian merujuk dokumen Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan Lingkungan Hidup John H. Knox (2012- 2018) terkait hak warga negara untuk mendapatkan informasi kondisi dan kualitas udara yang terkini (real time) dari pemerintah. Substansi laporan Nomor A/HRC/28/61 Tahun 2015 dan Nomor A/HRC/37/59 Tahun 2018 menyatakan bahwa pengejawantahan hak atas lingkungan dilihat dari tiga aspek, yaitu kewajiban prosedural, kewajiban substantif dan peningkatan kewajiban. Aspek informasi masuk dalam kewajiban prosedural.
“Negara wajib memberikan akses informasi yang efektif, terjangkau dan tepat waktu kepada publik, terkait informasi lingkungan terutama kualitas udara kemudian memfasilitasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan mempertimbangkan pandangan publik dalam proses melindungi hak berekspresi dan berkumpul terutama saat masyarakat menggunakan haknya terkait permasalahan lingkungan," urai Sandra.
Poin lainnya mensyaratkan penilaian awal tentang kemungkinan dampak lingkungan dari proyek dan kebijakan yang diusulkan termasuk potensi dampaknya terhadap penikmatan HAM dan menyediakan akses pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM dan hukum negara berkaitan dengan lingkungan, yakni dengan menjamin setiap individu dapat mengakses prosedur peradilan dan administrasi.
"Hak atas informasi yang efektif, tepat waktu dan terjangkau adalah suatu kewajiban prosedural yang semestinya dijalankan oleh pemerintah, dan apabila hal ini tidak dijalankan dapat diduga terjadi pelanggaran HAM,” jelas Sandra.
Pelapor khusus PBB, sambung Sandra, menekankan aspek kewajiban prosedural dalam hal ini akses informasi yang efektif, terjangkau dan tepat waktu kepada publik artinya kepada seluruh warga masyarakat. Jadi apabila informasi itu tidak tepat waktu, tidak terjangkau oleh seluruh warga dan tidak efektif dari situ dapat dilihat bahwa negara belum menghormati dan memenuhi hak asasi dari setiap warga.
Kuasa Penggugat kemudian menyinggung soal standar baku mutu udara bersih dan sehat yang ditetapkan oleh pemerintah RI. Standar yang ditetapkan pada tahun 1999 pada kenyataannya tidak sesuai dengan standar WHO atau masih di bawah angka standar kesehatan yang diakui secara internasional.
Sandra meresponsnya melalui rumusan mengenai hak atas lingkungan yang baik dan sehat bukan tanpa tujuan. Oleh karena itu, dalam konteks kualitas lingkungan, jelas Sandra, standar tertinggi untuk mengatur baku mutu harus erat kaitannya dengan standar yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang dalam masalah kesehatan karena kualitas lingkungan hidup sangat mempengaruhi kualitas kesehatan setiap orang.
Secara garis besar, Komnas HAM RI meminta kepada majelis hakim untuk memastikan adanya jaminan perlindungan HAM pengadu dan setiap orang yang berkegiatan di Provinsi DKI Jakarta terutama hak asasi untuk menghirup udara yang bersih sebagai bagian dari lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan memerintahkan kepada Negara cq Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur Provinsi Banten, dan Gubernur Provinsi Jawa Barat untuk: a). meningkatkan standar lingkungan dan mutu kualitas udara nasional dan Jakarta sesuai ilmu pengetahuan, praktik terbaik dan panduan internasional; b). menyusun dan mengimplementasikan program dan kebijakan yang terukur dan efektif dalam rangka pengendalian pencemaran udara; c). meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas, program, kebijakan dan pihak baik aktor negara dan/atau non-negara yang berpotensi menimbulkan pencemaran udara dan/atau melakukan pencemaran udara; d). mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang menghasilkan emisi/polutan, melakukan pengendalian emisi kendaraan dan mendorong penggunaan transportasi publik yang ramah lingkungan; e). menyesuaikan baku mutu emisi yang lebih ketat dan aman pada semua pembangkit listrik tenaga uap yang bersumber dari batu bara serta mendorong percepatan transformasi dari pembangkit listrik tenaga uap ke penggunaan sumber energi bersih dan terbarukan (renewable and clean energy); f). bekerja sama satu sama lain untuk membangun, memelihara dan menegakkan kerangka hukum nasional dan internasional yang efektif untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki dampak dari pencemaran udara; g). mengambil langkah ekstra untuk melindungi kelompok rentan dari dampak pencemaran udara; h). memfasilitasi akses informasi, partisipasi dan kepentingan publik terkait upaya dan pengambilan keputusan di bidang pengendalian pencemaran udara.
Komnas HAM RI dalam melaksanakan fungsi pemantauan mempunyai tugas dan wewenang yang salah satunya memberikan pendapat pada perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 89 (3) butir h UU No. 39/1999. Pemberian pendapat ini dimaksudkan untuk membantu kejelasan sebuah peristiwa yang diduga memuat pelanggaran HAM terutama yang menjadi masalah publik. Diharapkan pemberian pendapat ini dapat membantu semua pihak yang berkepentingan dengan peristiwa dugaan pelanggaran HAM tersebut dapat mengambil sikap atau pendapat atau keputusan sesuai tanggung jawab dan kewenangan masing-masing.(AAP/IW/SM)
Short link