Kabar Latuharhary

Hak Perempuan dalam Reforma Agraria

Kabar Latuharhary – Salah satu agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dari pemerintahan Presiden Jokowi adalah reforma agraria. Tujuan reforma agraria adalah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 telah memandatkan bahwa “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

Pada kenyataannya, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018 menyatakan bahwa tanah yang dimiliki oleh perempuan hanya sebesar 15,88 % dari 44 juta bidang. Begitu juga dengan hasil riset Solidaritas Perempuan tahun 2019, hanya sejumlah 24,2% bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan.

Solidaritas perempuan yang terdiri dari 12 (dua belas) komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia juga mencatat persoalan hak perempuan yang terkait dengan konflik agraria. Seperti dijelaskan perwakilan Solidaritas Perempuan, Arie Kurniawaty, dalam Diskusi Publik Perlindungan Hak Perempuan Berhadapan dengan Konflik Agraria dalam Agenda Reforma Agraria yang dilaksanakan pada Senin 27 September 2021, konflik agraria terjadi pada perempuan petani Takalar – Sulawesi Selatan dengan PTPN XIV, perempuan petani Ogan Ilir – Sumatera Selatan dengan PTPN VIII Cinta Manis, perempuan pesisir dengan Proyek Strategi Nasional Makassar New Port, dan perempuan adat Pubabu yang berhadapan dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu juga terjadi penghancuran dan penguasaan sumber air oleh perusahaan semen (PT SA/ PT SBA) di LhokNga Leupung, Aceh Besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa konflik agraria berkontribusi pada menguatnya kekerasan dan ketidakadilan gender.

Lebih lanjut, beberapa pelanggaran hak perempuan dalam konflik agraria seperti adanya diskriminasi dalam hak akses atas informasi; dikecualikan dalam konsultasi dan pengambilan keputusan; tidak ada analisis gender terutama kerentanan perempuan dalam penyusunan dokumen terkait; serta perempuan lah yang menanggung lebih berat dan mendalam dari akibat konflik yang terjadi. Disebutkan oleh Arie, perempuan pembela HAM sesungguhnya mengalami kerentanan spesifik yang tidak dialami oleh laki-laki, seperti labelling dari masyarakat, serta pemberian ancaman dan intimidasi.


Menanggapi hal tersebut, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga saat menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi yang sama, menyampaikan potret ketergantungan terhadap tanah dan sumber daya alam bukan hanya untuk sektor pertanian dan pangan. Ketergantungan ini juga terkait pada kelangsungan budaya dan pengetahuan yang menjadi penghidupan masyarakat adat seperti yang ada di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya Sumba.

Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga -- mengungkapkan peran perempuan sangatlah penting dalam isu tanah. “Selain di dalam keluarga, di dalam masyarakat adat ada perempuan yang posisinya cukup kuat, tapi juga banyak perempuan yang tidak dianggap berhak. Sehingga penting penguatan hak-hak perempuan di dalam proses perjuangan hak masyarakat adat,” tegas Sandra.

Sandra pun menuturkan bahwa Komnas HAM sedang menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA). Dalam draf SNP tersebut disebutkan perempuan memiliki seperangkat hak terkait dengan tanah dan SDA, di antaranya sebagai bagian dari hak untuk hidup dan berpenghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan, hak reproduksi, hak atas air dan sanitasi, hak atas kepemilikan tanah, dan sebagainya.

“Hilangnya hak atas tanah dan rusaknya SDA bagi perempuan bukan semata hilangnya sumber ekonomi, tetapi dapat berakibat memburuknya kesehatan reproduksi, perlakuan diskriminatif, kekerasan seksual, dan hilangnya pelindungan hak-hak dasar perempuan,” jelas Sandra.

Komnas HAM merumuskan beberapa permasalahan pokok hak perempuan dalam agraria, salah satunya budaya patriarki yang masuk dalam semua segi kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya serta kebijakan yang meletakkan laki-laki sebagai satu-satunya kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan perempuan berada pada situasi rentan dalam mendapatkan hak dan pelindungan hak-hak dasar bidang tanah dan SDA. Akar permasalahannya, menurut Sandra memang terletak pada kuatnya budaya patriarki di birokrasi dan masyarakat. Juga minimnya pengetahuan perempuan dan warga tentang HAM dan hak perempuan khusunya, minimnya kewenangan Kementerian/ Lembaga pengawas, serta belum lengkapnya peraturan perundang-undangaan.

Lebih lanjut Sandra menjelaskan kewajiban negara yang juga dituangkan dalam draf SNP Tanah dan SDA yaitu negara wajib untuk memastikan sistem ekonomi yang berkeadilan bagi perempuan dengan menghilangkan beragam kebijakan yang mengakibatkan kerentanan perempuan, memberikan pelindungan dan pengakuan terhadap kearifan pengetahuan perempuan dalam hal tanah dan SDA, memastikan penegakan hukum terhadap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang timbul akibat konflik tanah dan SDA, mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan semua bisnis perusahaan menghormati hak asasi perempuan, mengambil langkah inisiatif dan strategis untuk menyelesaikan sengketa atas tanah dan SDA yang belum selesai, serta menyusun regulasi untuk menjamin perempuan mendapatkan akses yang sama dalam menggunakan dan pengelolaan tanah dan SDA.

Di akhir paparan, Sandra menegaskan bahwa prospek dan tantangan pelindungan hak perempuan tergantung pada perkembangan kebijakan, hukum, kelembagaan, serta perspektif di masyarakat. Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain dengan memberikan pendidikan yang menyeluruh kepada ASN dan masyarakat tentang hak perempuan dan keadilan gender, pembaruan hukum dengan melakukan kaji ulang dan melengkapi affirmative polices termasuk untuk pengakuan dan pelindungan hak intelektual, melakukan pengarusutamaan perspektif gender dalam semua program terkait sumber daya alam, serta penguatan kewenangan Kementerian/Lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian PPPA, dan lain sebagainya.

Sebagai informasi, selain menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Tanah dan Sumber Daya Alam, Komnas HAM telah mengesahkan 6 (enam) SNP lainnya yaitu SNP tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (PDRE), SNP tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (SNP KBB), SNP tentang Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi (KKB), SNP tentang Hak atas Kesehatan, SNP tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, serta SNP tentang Pembela HAM. Selain itu, pada 2016, Komnas HAM juga telah memberikan Laporan Inkuiri Nasional, yang salah satunya berisikan laporan tentang hak masyarakat adat termasuk perempuan di dalamnya.

 

Penulis : Utari Putri

Editor : Sri Rahayu

Short link