Kabar Latuharhary -- Sandrayati Moniaga Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berpandangan bahwa Moratorium Sawit perlu diperpanjang. “Implementasi Inpres No.18 Tahun 2018 ini merupakan satu langkah terobosan yang dibuat oleh presiden untuk memberi jeda pada pembenahan industri sawit,” kata Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga.
Hal itu disampaikan dalam talkshow daring “Meneropong Potensi Dampak Hak Asasi Manusia Jelang Berakhirnya Moratorium Sawit” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada Selasa, 31 Agustus 2021.
Pernyataan Sandra tersebut terkait dengan akan berakhirnya masa berlaku Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) pada 19 September 2021. Moratorium Sawit penting untuk diperpanjang karena masih ada konflik yang meletup bahkan menyebabkan petani tewas karena masih adanya konflik kekerasan antara masyarakat lokal dengan perusahaan sawit.
Lebih lanjut Sandra menyampaikan temuan-temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM Tahun 2016. Sandra menyebutkan berbagai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, sebagai dampak terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang bukan hanya sekedar potensi. “Intinya dari temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM, kami melihat pelanggaran HAM yang terjadi itu memang berlapis,” tutur Sandra.
Pertama temuan Komnas HAM yang disampaikan Sandra adalah terkait isu hak atas tanah. Banyaknya perkebunan sawit yang berada di kawasan bekas hutan, sebagian belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Hal tersebut telah menimbulkan konflik klaim hak atas tanah yang cukup panjang.
“Jadi, kalau kita telusuri, kawasan itu sebenarnya ditetapkan pada zaman Orde Baru, ada juga sebagian zaman Belanda. Prosesnya itu sangat tidak transparan, dinyatakan sepihak. Penunjukan kawasan hutan tanpa proses tata batas, kemudian diperlakukan sebagai hutan negara dan diberikan kepada pihak ketiga. Di sinilah ada pelepasan kepada pihak ketiga. Pelepasan ini ada pengabaian klaim masyarakat yang ada di sana terlebih dahulu. Ada isu tumpang tindih hak atas tanah,” ujar Sandra.
Persoalan lain yang disebutkan oleh Sandra adalah terkait isu lingkungan dan pencemaran, sebagai bagian dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Sandra menilai isu perubahan terhadap bentang alam yang luar biasa dapat terjadi dari perkebunan sawit tersebut. Hal lain yang paling mendasar adalah menyangkut hak hidup. “Jadi, ada juga sebagian petani yang terbunuh atau meninggal dalam konflik ini,” kata Sandra. Selain itu, Sandra juga menyebutkan persoalan terhadap isu hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, dan juga hak perempuan.
Pernyataan Sandra tersebut terkait dengan akan berakhirnya masa berlaku Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) pada 19 September 2021. Moratorium Sawit penting untuk diperpanjang karena masih ada konflik yang meletup bahkan menyebabkan petani tewas karena masih adanya konflik kekerasan antara masyarakat lokal dengan perusahaan sawit.
Lebih lanjut Sandra menyampaikan temuan-temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM Tahun 2016. Sandra menyebutkan berbagai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, sebagai dampak terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang bukan hanya sekedar potensi. “Intinya dari temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM, kami melihat pelanggaran HAM yang terjadi itu memang berlapis,” tutur Sandra.
Pertama temuan Komnas HAM yang disampaikan Sandra adalah terkait isu hak atas tanah. Banyaknya perkebunan sawit yang berada di kawasan bekas hutan, sebagian belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Hal tersebut telah menimbulkan konflik klaim hak atas tanah yang cukup panjang.
“Jadi, kalau kita telusuri, kawasan itu sebenarnya ditetapkan pada zaman Orde Baru, ada juga sebagian zaman Belanda. Prosesnya itu sangat tidak transparan, dinyatakan sepihak. Penunjukan kawasan hutan tanpa proses tata batas, kemudian diperlakukan sebagai hutan negara dan diberikan kepada pihak ketiga. Di sinilah ada pelepasan kepada pihak ketiga. Pelepasan ini ada pengabaian klaim masyarakat yang ada di sana terlebih dahulu. Ada isu tumpang tindih hak atas tanah,” ujar Sandra.
Persoalan lain yang disebutkan oleh Sandra adalah terkait isu lingkungan dan pencemaran, sebagai bagian dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Sandra menilai isu perubahan terhadap bentang alam yang luar biasa dapat terjadi dari perkebunan sawit tersebut. Hal lain yang paling mendasar adalah menyangkut hak hidup. “Jadi, ada juga sebagian petani yang terbunuh atau meninggal dalam konflik ini,” kata Sandra. Selain itu, Sandra juga menyebutkan persoalan terhadap isu hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, dan juga hak perempuan.
Isu hak perempuan juga sempat diungkapkan oleh narasumber lain Hadi Saputra (Sawit Watch/Koalisi Moratorium Sawit). Menurut Hadi Saputra perempuan adalah salah satu kelompok yang dinilai rentan akibat kegiatan atau aktivitas yang ada di perkebunan sawit. “Dari sisi perempuan, menambahi apa yang sudah disampaikan Ibu Sandra, memang benar, kelompok perempuan mengalami kehilangan sumber penghidupan atau pengelolaan dan ekonominya dari proses konversi hutan menjadi sawit. Sehingga mereka kehilangan sumber-sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,” ucap Hadi Saputra.
Dalam cakupan tersebut, berbagai langkah inisiatif sesuai mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, telah dilakukan oleh Komnas HAM. Seperti dijelaskan Sandra, salah satunya adalah menjadikan isu sawit yang merupakan bagian dari isu agraria sebagai salah satu isu strategis Komnas HAM. “Terakhir adalah kami sedang menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Tanah dan Sumber Daya Alam. Ini masih proses. Komnas juga melakukan Inkuiri Nasional dan mendorong upaya pembentukan inisiatif penyelesaian konflik agraria secara komprehensif,” kata Sandra.
Lebih jauh, menilik soal implementasi Inpres Moratorium Sawit, Sandra menilai hal tersebut merupakan satu langkah terobosan yang telah dibuat oleh presiden untuk dapat melakukan pembenahan. Dalam konteks ini, Komnas HAM memberi apresiasi kepada presiden. Namun, proses pembenahan tersebut dinilai belum selesai dan belum memberikan dampak yang lebih baik bagi tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
“Jadi, disini menurut kami Inpres ini sangat penting, cukup fenomenal, tetapi proses pembenahan belum selesai. Kalau sudah selesai, mestinya pelanggaran HAM berkurang. Tetapi, kami tidak melihat indikasi ke sana dan kami masih terus mendapat pengaduan-pengaduan terkait kasus sawit,” tutup Sandra. Jika moratorium terhadap perkebunan sawit tersebut dilanjutkan, maka sebuah kondisi menuju kelapa sawit yang berkelanjutan dan menghormati HAM kesempatannya akan semakin besar.
Narasumber lain yang hadir dalam talkshow daring tersebut adalah Imam A. El Marzuq, Senior Manager Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO Indonesia), dan Manajer Advokasi ELSAM, M. Busyrol Fuad, sebagai moderator.
Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Dalam cakupan tersebut, berbagai langkah inisiatif sesuai mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, telah dilakukan oleh Komnas HAM. Seperti dijelaskan Sandra, salah satunya adalah menjadikan isu sawit yang merupakan bagian dari isu agraria sebagai salah satu isu strategis Komnas HAM. “Terakhir adalah kami sedang menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Tanah dan Sumber Daya Alam. Ini masih proses. Komnas juga melakukan Inkuiri Nasional dan mendorong upaya pembentukan inisiatif penyelesaian konflik agraria secara komprehensif,” kata Sandra.
Lebih jauh, menilik soal implementasi Inpres Moratorium Sawit, Sandra menilai hal tersebut merupakan satu langkah terobosan yang telah dibuat oleh presiden untuk dapat melakukan pembenahan. Dalam konteks ini, Komnas HAM memberi apresiasi kepada presiden. Namun, proses pembenahan tersebut dinilai belum selesai dan belum memberikan dampak yang lebih baik bagi tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
“Jadi, disini menurut kami Inpres ini sangat penting, cukup fenomenal, tetapi proses pembenahan belum selesai. Kalau sudah selesai, mestinya pelanggaran HAM berkurang. Tetapi, kami tidak melihat indikasi ke sana dan kami masih terus mendapat pengaduan-pengaduan terkait kasus sawit,” tutup Sandra. Jika moratorium terhadap perkebunan sawit tersebut dilanjutkan, maka sebuah kondisi menuju kelapa sawit yang berkelanjutan dan menghormati HAM kesempatannya akan semakin besar.
Narasumber lain yang hadir dalam talkshow daring tersebut adalah Imam A. El Marzuq, Senior Manager Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO Indonesia), dan Manajer Advokasi ELSAM, M. Busyrol Fuad, sebagai moderator.
Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Short link