Latuharhary - Penanganan pandemi Covid-19 harus memberikan edukasi ke masyarakat untuk patuh pada protokol kesehatan, bukan sekadar pemberian hukuman secara represif.
“Pemerintah memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat termasuk bertanggung jawab dalam hak atas hidup masyarakatnya di masa pandemi seperti pemenuhan akses kesehatan, fasilitas kesehatan, dan peralatan medis sesuai dengan standar tertinggi (the highest attainable standard) yang bisa dipenuhi negara sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Sehingga masyarakat dapat menikmati fasilitas Kesehatan termasuk vaksinasi dan upaya medis,” jelas Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam Webinar Internasional “Health Dictatorship in the Management of Covid-19: Its Mechanism and Actions to be Taken” yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara, Rabu (25/8/2021).
Taufan mengutip Pasal 4 dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik bahwa dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, negara dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini. Sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
Dalam Komentar Umum No. 29 dalam Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Politik mensyaratkan, ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak-hak yang termasuk dalam derogable rights. Situasi tersebut harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan negara pihak harus menyatakan secara resmi negara dalam keadaan darurat dalam hal ini secara resmi oleh presiden.
Syarat dan kondisi berikutnya diatur berdasarkan hukum, diperlukan dalam masyarakat demokratis, untuk melindungi ketertiban umum, untuk melindungi kesehatan publik, untuk melindungi moral publik, untuk melindungi keamanan nasional, untuk melindungi keselamatan publik, dan melindungi hak serta kebebasan orang lain.
Kebijakan saat ini yang berlaku bersifat pembatasan, hak-hak sipil-politik yang dikategorikan derogable rights. Sepanjang tujuannya untuk menjaga keselamatan publik dan melindungi kesehatan masyarakat luas dalam situasi darurat yang bersifat nasional, dimungkinkan untuk diterapkan. Tentunya harus sesuai dengan syarat- syarat yang diatur dalam Prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Pada awal pandemi Covid -19, Taufan mengingatkan, Komnas HAM RI memberi gagasan kepada Gugus Tugas Covid-19 agar kebijakan penanganan pandemi diperkuat dengan regulasi legal seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Usulan ini sejatinya mengantisipasi adanya kebijakan bersifat represif.
“Mungkin masyarakat tidak cukup informasi sehingga masyarakat tidak patuh, tidak adil jika mereka kemudian mendapat penghukuman,”ungkapnya.
Satgas Covid-19 Provinsi Sumatera Utara Delyuzar juga berpandangan bahwa penanganan pandemi seharusnya berfokus pada upaya pencegahan, edukasi, dan literasi pencegahan ke masyarakat. “Tidak cukup pemerintah hanya menyediakan tempat isolasi. Menurut saya pemerintah harus berkomitmen bergerak di hulu,” ungkapnya.
Narasumber lain webinar ini, antara lain akademisi bidang Ekonomi Politik Islam Universitas Sains Malaysia, praktisi Ekonomi Pakistan Shahar Yar, dan Kepala Departemen Ilmu Politik FISIP USU Dr. Warjio. (AAP/IW)
Short link