Kabar Latuharhary – “Semua masalah tidak bisa diselesaikan dengan metode yang sama,” ucap Jusuf Kalla. Pria yang biasa dipanggil JK ini bercerita banyak terkait pengalaman-pengalamannya selama menjadi mediator suatu konflik yang tidak selalu soal politik atau yang melibatkan kelompok bersenjata, tetapi juga pernah menjadi mediator konflik antara dua negara.
“Mediator harus punya keberanian namun jangan terlalu berani tetapi juga jangan penakut, jangan lupa juga untuk tetap menjaga hubungan personal,” pesan JK.
Hal itu disampaikan JK dalam webinar publik “Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Kamis (19/08/2021).
Jusuf Kalla yang telah menerima penghargaan honoris causa dari berbagai universitas di dunia membagikan pengalamannya kepada para peserta webinar. Menurutnya sebagai mediator harus memiliki beberapa karakteristik yaitu mengetahui permasalahan secara detil, memiliki keberanian, menghormati harga diri para pihak dan independen hingga membangun trust.
Hadir Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara sebagai penanggap. “Mediasi bukan proses yang sekali jadi,” ucap Beka – panggilan akrab Beka Ulung Hapsara.
Pada kesempatan ini Beka menggambarkan fungsi mediasi yang diemban oleh Komnas HAM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya Komnas HAM memiliki mandat untuk melakukan mediasi sebagai metode atau strategi dalam pemenuhan dan penegakan HAM.
“Komnas HAM melakukan mediasi HAM dengan dua pendekatan, pendekatan hak konstitusional dan pendekatan hak asasi manusia yang satu sama lainnya saling terkait,” papar Beka. Lebih lanjut Beka menekankan jika berbicara tentang mediasi, hal utama yang harus dipastikan adalah adanya kesetaraan. Seorang mediator harus memposisikan para pihak secara setara untuk mencapai tujuan perdamaian.
Walikota Bogor Bima Arya yang turut hadir sebagai salah satu penanggap membagikan pengalamannya dalam memediasi kasus GKI Yasmin. Menurutnya konflik sering kali datang dari struktur formal yang mengintervensi dengan pendekatan-pendekatannya yang kaku. Belum lagi peran media sosial yang bagaikan dua sisi mata uang dimana satu sisi membangun situasi kondusif namun sisi lain memperkeruh situasi.
Bima Arya menganggap efektivitas JK dalam menyelesaikan konflik suatu kasus perlu ditiru, sehingga dia tidak melewati kesempatan untuk bertanya langsung kepadanya. “Keberanian dalam proses mediasi memang diperlukan, tetapi ada tantangan di level struktural yang harus dihadapi, opini-opini yang terbentuk di media sosial, dan belum tentu metode yang dilakukan pada satu kasus cocok dengan kasus serupa lainnya. Bagaimana pengalaman Bapak JK menghadapi tantangan-tantangan saat melakukan mediasi?,” tanya Bima Arya.
Menanggapi hal tersebut JK berbagi pengalaman-pengalamannya saat turun langsung ke berbagai wilayah konflik saat dia menjadi mediator. JK berharap pengalaman yang telah dibagikannya pada webinar kali ini dapat menjadi inspirasi para peserta yang hadir.
Penulis: Andri Ratih
“Mediator harus punya keberanian namun jangan terlalu berani tetapi juga jangan penakut, jangan lupa juga untuk tetap menjaga hubungan personal,” pesan JK.
Hal itu disampaikan JK dalam webinar publik “Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Kamis (19/08/2021).
Jusuf Kalla yang telah menerima penghargaan honoris causa dari berbagai universitas di dunia membagikan pengalamannya kepada para peserta webinar. Menurutnya sebagai mediator harus memiliki beberapa karakteristik yaitu mengetahui permasalahan secara detil, memiliki keberanian, menghormati harga diri para pihak dan independen hingga membangun trust.
Hadir Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara sebagai penanggap. “Mediasi bukan proses yang sekali jadi,” ucap Beka – panggilan akrab Beka Ulung Hapsara.
Pada kesempatan ini Beka menggambarkan fungsi mediasi yang diemban oleh Komnas HAM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya Komnas HAM memiliki mandat untuk melakukan mediasi sebagai metode atau strategi dalam pemenuhan dan penegakan HAM.
“Komnas HAM melakukan mediasi HAM dengan dua pendekatan, pendekatan hak konstitusional dan pendekatan hak asasi manusia yang satu sama lainnya saling terkait,” papar Beka. Lebih lanjut Beka menekankan jika berbicara tentang mediasi, hal utama yang harus dipastikan adalah adanya kesetaraan. Seorang mediator harus memposisikan para pihak secara setara untuk mencapai tujuan perdamaian.
Walikota Bogor Bima Arya yang turut hadir sebagai salah satu penanggap membagikan pengalamannya dalam memediasi kasus GKI Yasmin. Menurutnya konflik sering kali datang dari struktur formal yang mengintervensi dengan pendekatan-pendekatannya yang kaku. Belum lagi peran media sosial yang bagaikan dua sisi mata uang dimana satu sisi membangun situasi kondusif namun sisi lain memperkeruh situasi.
Bima Arya menganggap efektivitas JK dalam menyelesaikan konflik suatu kasus perlu ditiru, sehingga dia tidak melewati kesempatan untuk bertanya langsung kepadanya. “Keberanian dalam proses mediasi memang diperlukan, tetapi ada tantangan di level struktural yang harus dihadapi, opini-opini yang terbentuk di media sosial, dan belum tentu metode yang dilakukan pada satu kasus cocok dengan kasus serupa lainnya. Bagaimana pengalaman Bapak JK menghadapi tantangan-tantangan saat melakukan mediasi?,” tanya Bima Arya.
Menanggapi hal tersebut JK berbagi pengalaman-pengalamannya saat turun langsung ke berbagai wilayah konflik saat dia menjadi mediator. JK berharap pengalaman yang telah dibagikannya pada webinar kali ini dapat menjadi inspirasi para peserta yang hadir.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Hari Reswanto
Short link