Kabar latuharhary – Warga negara dan Penduduk memiliki perbedaan makna dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM). Perbedaan paradigma tersebut menimbulkan kontradiksi dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar 1945.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam, menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam “Diskusi Terfokus dua kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pelaksanaanya (BAB X Warga Negara dan Penduduk, BAB XA HAM, BAB XI Agama)”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 19 Juli 2021.
Pada diskusi ini Anam membahas mengenai penggunaan kata warga nergara dan kata penduduk yang erat kaitannya dengan konsep dasar hak asasi manusia. Anam berpendapat, apabila menggunakan kata penduduk atau civil population dan lain-lain artinya setiap orang yang berada di satu wilayah atau satu otoritas tertentu tanpa terkecuali. Sedangkan, apabila penggunaan kata warga negara, berarti orang yang memiliki satu identitas politik tertentu.
“Hampir semua instrumen HAM, ada tiga kata yang digunakan. Satu adalah person, all person, individual yang maknanya melekat pada dirinya sendiri. Kedua adalah populasi, dan ketiga adalah citizen. Jadi, memang ada tiga kata itu yang sengaja dipilih dalam konteks HAM itu. Dan itu memiliki konsekuensi hukum yang panjang,” ucap Anam.
Anam menjelaskan bahwa dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) hampir semua pemilihan kata di hak sipil dan politik tersebut menggunakan istilah person, atau all person. Dan yang tidak menggunakan kata tersebut hanya satu, di Pasal 25, memakai kata citizen, karena berhubungan dengan partisipasi pada satu organisasi yang disebut negara. Pada pasal 25 tersebut, mengatur terkait partisipasi langsung, seperti pemilu dan lain sebagainya.
“Di luar konteks partisipasi langsung, semuanyanya menggunakan kata person, all person, individual, yang sifatnya adalah tubuh orang, identitas orang. Bukan identitas yang dilahirkan oleh kesepakatan politik. Kalau citizen itu kan ada kesepakatan politik atau keterdudukan oleh hukum,” kata Anam.
Anam menyampaikan apabila berangkat dari paradigma pemilihan kata seperti itu, maka akan terlihat bahwa amademen terkesan terpisah-pisah dan ada beberapa pasal yang kontradiksi. Di dalam Undang-undang Dasar ada beberapa penggunaan kata yakni warga negara, penduduk, dan setiap orang. Dan celakanya, lanjut Anam Pasal-pasal dengan semangat yang bagus di Konstitusi dengan stampelnya “warga negara”, ada yang kontradiksi dengan stampelnya “setiap orang” di pasal 28. Dan Anam menegaskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 31 serta pasal-pasal lainnya kedudukannya harus setara antara pasal dengan pasal yang lain.
“Misalnya, terkait pendidikan. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan. Negara harus menyediakan anggaran. Tetapi, di Pasal 28 ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan. Jadi, di pasal 31 yang mewajibkan setiap warga negara untuk berpendidikan, dan di ayat berikutnya dijamin seluruh pembiayaannya minimal pendidikan dasarnya dijamin oleh Negara. Apakah ini berlaku untuk non warga negara yang diatur dalam pasal 28C?” ungkap Anam
Apabila mengikuti paradigma di hak asasi manusia, ketika berbicara mengenai partisipasi memang akan melekat pada identitas politiknya atau kewarganegaraannya. Anam menjelaskan penikmatan hak asasi manusia dalam beberapa konteks, dalam konsep hak ekonomi sosial dan budaya dalam tanda petik boleh mengutamakan warga negaranya. Tetapi, bridging point antara mengutamakan warga negara, seperti di beberapa pasal l agar tidak bertentangan pada pasal 28 itu tidak ada.
“Seperti pasal 34 terkait fakir miskin dan anak anak terlantar hidupnya dilindungi dan dijamin oleh negara dan itu ya anaknya warga negara. Kalau anaknya penduduk dia tidak bisa menikmati. Padahal, pada pasal 28B secara tegas dikatakan bahwa anak-anak itu adalah bagian dari tanggung jawab negara. Apabila membaca pasal-pasal di luar pasal 28 yang memang paradigmanya mencerminkan nilai-nilai HAM, pada dasarnya memiliki potensi bertentangan dengan pasal 28 itu sendiri. Karena pilihan kata warga negara dan kata setiap orang itu berbeda, kalau setiap orang berarti setiap orang tanpa terkecuali,”
Pemilihan kata-kata tersebut membuat konsekuensi yang sangat panjang, dan perlu satu bridging point terkait mana saja yang melekat pada warga negara, dan melekat pada setiap orang. Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan dalam konteks hak asasi manusia. Apabila berhubungan langsung dengan keselamatan, keamanan pribadi maupun jaminan atas keadilan, hak asasi manusia melekat pada individuk, tidak membedakan antara warga negara atau bukan.
“Apabila berbicara terkat partisipasi termasuk pemilu di dalamnya, menggunakan kata citizen. Dan citizen ini memang berbicara mengenai partisipasi, kalau berbicara terkait hak, dan lain-lain itu tidak. Hal tersebut yang mendasarkan, tetapi di konstitusi kita pembagian itu belum ada,” ujar Anam.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam, menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam “Diskusi Terfokus dua kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pelaksanaanya (BAB X Warga Negara dan Penduduk, BAB XA HAM, BAB XI Agama)”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 19 Juli 2021.
Pada diskusi ini Anam membahas mengenai penggunaan kata warga nergara dan kata penduduk yang erat kaitannya dengan konsep dasar hak asasi manusia. Anam berpendapat, apabila menggunakan kata penduduk atau civil population dan lain-lain artinya setiap orang yang berada di satu wilayah atau satu otoritas tertentu tanpa terkecuali. Sedangkan, apabila penggunaan kata warga negara, berarti orang yang memiliki satu identitas politik tertentu.
“Hampir semua instrumen HAM, ada tiga kata yang digunakan. Satu adalah person, all person, individual yang maknanya melekat pada dirinya sendiri. Kedua adalah populasi, dan ketiga adalah citizen. Jadi, memang ada tiga kata itu yang sengaja dipilih dalam konteks HAM itu. Dan itu memiliki konsekuensi hukum yang panjang,” ucap Anam.
Anam menjelaskan bahwa dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) hampir semua pemilihan kata di hak sipil dan politik tersebut menggunakan istilah person, atau all person. Dan yang tidak menggunakan kata tersebut hanya satu, di Pasal 25, memakai kata citizen, karena berhubungan dengan partisipasi pada satu organisasi yang disebut negara. Pada pasal 25 tersebut, mengatur terkait partisipasi langsung, seperti pemilu dan lain sebagainya.
“Di luar konteks partisipasi langsung, semuanyanya menggunakan kata person, all person, individual, yang sifatnya adalah tubuh orang, identitas orang. Bukan identitas yang dilahirkan oleh kesepakatan politik. Kalau citizen itu kan ada kesepakatan politik atau keterdudukan oleh hukum,” kata Anam.
Anam menyampaikan apabila berangkat dari paradigma pemilihan kata seperti itu, maka akan terlihat bahwa amademen terkesan terpisah-pisah dan ada beberapa pasal yang kontradiksi. Di dalam Undang-undang Dasar ada beberapa penggunaan kata yakni warga negara, penduduk, dan setiap orang. Dan celakanya, lanjut Anam Pasal-pasal dengan semangat yang bagus di Konstitusi dengan stampelnya “warga negara”, ada yang kontradiksi dengan stampelnya “setiap orang” di pasal 28. Dan Anam menegaskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 31 serta pasal-pasal lainnya kedudukannya harus setara antara pasal dengan pasal yang lain.
“Misalnya, terkait pendidikan. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan. Negara harus menyediakan anggaran. Tetapi, di Pasal 28 ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan. Jadi, di pasal 31 yang mewajibkan setiap warga negara untuk berpendidikan, dan di ayat berikutnya dijamin seluruh pembiayaannya minimal pendidikan dasarnya dijamin oleh Negara. Apakah ini berlaku untuk non warga negara yang diatur dalam pasal 28C?” ungkap Anam
Apabila mengikuti paradigma di hak asasi manusia, ketika berbicara mengenai partisipasi memang akan melekat pada identitas politiknya atau kewarganegaraannya. Anam menjelaskan penikmatan hak asasi manusia dalam beberapa konteks, dalam konsep hak ekonomi sosial dan budaya dalam tanda petik boleh mengutamakan warga negaranya. Tetapi, bridging point antara mengutamakan warga negara, seperti di beberapa pasal l agar tidak bertentangan pada pasal 28 itu tidak ada.
“Seperti pasal 34 terkait fakir miskin dan anak anak terlantar hidupnya dilindungi dan dijamin oleh negara dan itu ya anaknya warga negara. Kalau anaknya penduduk dia tidak bisa menikmati. Padahal, pada pasal 28B secara tegas dikatakan bahwa anak-anak itu adalah bagian dari tanggung jawab negara. Apabila membaca pasal-pasal di luar pasal 28 yang memang paradigmanya mencerminkan nilai-nilai HAM, pada dasarnya memiliki potensi bertentangan dengan pasal 28 itu sendiri. Karena pilihan kata warga negara dan kata setiap orang itu berbeda, kalau setiap orang berarti setiap orang tanpa terkecuali,”
Pemilihan kata-kata tersebut membuat konsekuensi yang sangat panjang, dan perlu satu bridging point terkait mana saja yang melekat pada warga negara, dan melekat pada setiap orang. Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan dalam konteks hak asasi manusia. Apabila berhubungan langsung dengan keselamatan, keamanan pribadi maupun jaminan atas keadilan, hak asasi manusia melekat pada individuk, tidak membedakan antara warga negara atau bukan.
“Apabila berbicara terkat partisipasi termasuk pemilu di dalamnya, menggunakan kata citizen. Dan citizen ini memang berbicara mengenai partisipasi, kalau berbicara terkait hak, dan lain-lain itu tidak. Hal tersebut yang mendasarkan, tetapi di konstitusi kita pembagian itu belum ada,” ujar Anam.
Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa ada salah satu Pasal yang menjadi persoalan teks dalam Undang-Undang Dasar, yakni Pasal 28 J ayat 2.
“Seperti yang kita tau pada Pasal 28 J ayat 2 dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Memang ada kata-kata dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan seterusnya, tetapi dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan, penghormatan tersebut itu kan sesuatu yang kemudian harus mendapatkan kualifikasi lebih jauh dari pembuat undang-undang atau pun ketika diuji oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Sesungguhnya kita dapat liat dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 28 J ayat 2 ini lah yang kemudian sering digunakan untuk memberi tafsir yang terlalu luas bahwa negara bisa memberikan pengaturan yang lebih jauh, dan akhirnya justru membatasi hak asasi manusia,” ucap Bivitri.
Focus Group Discussion (FGD) ini bertujuan untuk mendiskusikan secara mendalam muatan materi Undang-undang Dasar 1945 serta pelaksanaannya, khususnya BAB X Warga Negara dan Penduduk, BAB XA terkait HAM, BAB XI mengenai Agama. Dan hasil dari FGD tersebut menjadi bahan penting dalam penyusunan rekomendasi hasil kajian akademik, sebagai saran dan pertimbangan penyempurnaan Undang-Undang Dasar 1945 atau saran penyempurnaan undang-undang.
Penulis : Annisa Radhia
Editor : Banu Abdillah
Short link