Kabar Latuharhary – Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya pasal 75 a dan b, Komnas HAM memiliki dua tujuan yaitu: mendorong terwujudnya pelaksanaan HAM yang kondusif sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) serta Deklarasi Universal HAM (DUHAM); selain itu juga untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Dari hasil survei Komnas HAM terkait pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, penegakan HAM di Indonesia dinilai masih jauh dari harapan. Dalam cakupan tersebut, peran mahasiswa menjadi penting dalam upaya mendukung pemajuan dan penegakan HAM.
Demikian beberapa poin pemantik diskusi yang disampaikan Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono pada Dialog Publik bertajuk "Menyoal Krisis Penegakan HAM di Indonesia". Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Sultan Agung Cabang Semarang, Senin, 10 Mei 2021.
Mengawali paparannya, Mimin -- sapaan akrab Mimin Dwi Hartono --, menjelaskan tiga mandat undang-undang yang melekat pada Komnas HAM yaitu: UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menyoroti penegakan HAM di Indonesia, Mimin mengelompokkannya dalam dua kategori yaitu penegakan HAM dalam konteks UU tentang HAM serta pengadilan HAM.
Untuk kategori pertama Mimin menjelaskan Komnas HAM sesuai mandatnya telah menerima kurang lebih 2500 kasus pengaduan pada tahun 2019 dan 2400 kasus di tahun 2020 terkait kasus dugaan pelanggaran HAM dari berbagai daerah. “Nah, siapa yang diadukan? Selama beberapa tahun terakhir memang cukup konstan. Pertama yang paling banyak diadukan adalah kepolisian, kedua korporasi/swasta, ketiga pemerintah daerah. Tiga aktor utama ini yang paling banyak diadukan oleh masyarakat,” kata Mimin.
Selanjutnya dalam konteks pengadilan HAM, Komnas HAM di tahun 2019 telah melakukan survei nasional di 34 provinsi. Survei ini terkait dengan persepsi masyarakat, bagaimana masyarakat memandang berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang berat. Survei dilakukan tahun 2019 tetapi masih relevan hingga saat ini dengan total 1200 responden dari 34 provinsi di Indonesia.
Salah satu hasil survei yang dijelaskan Mimin adalah terkait penuntasan kasus HAM masa lalu. Hasil survei menunjukkan bahwa penyelesaian kasus masih simpang siur di mata publik. “Untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu, diambil lima contoh yaitu: Peristiwa 1965, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penculikan Aktivis 1997-1998, Penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan Kerusuhan Mei 1998,” ucap Mimin.
Untuk Peristiwa 1965, sebagian besar responden atau 38,6% mengatakan tidak tahu dan 34,9% mengatakan belum tuntas. Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 sebanyak 44,8% responden mengatakan tidak tahu dan 32,1% belum tuntas. Penculikan Aktivis 1997-1998 sebanyak 43,4% responden mengatakan belum tuntas dan 36,5 % tidak tahu, Penembakan Trisakti-Semanggi 1998 sebanyak 42,2% responden mengatakan belum tuntas dan 37,3% tidak tahu. Kerusuhan Mei 1998 sebanyak 40% responden mengatakan belum tuntas serta 35,2% tidak tahu.
Lebih lanjut Mimin mengungkapkan terkait pentingnya peran mahasiswa dalam upaya mendukung pemajuan dan penegakan HAM. “Kesimpulannya, perlu ada edukasi terus menerus kepada masyarakat. Di sini peran mahasiswa menjadi penting karena mahasiswa merupakan motor penggerak reformasi, pembela HAM dan pengedukasi kepada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membangun diskusi publik, membuat poster-poster di media sosial supaya masyarakat teredukasi,” kata Mimin.
Mimin menambahkan bahwa partisipasi mahasiswa tersebut juga tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Ini dijamin dalam pasal 100 UU HAM bahwa setiap orang, organisasi atau individu itu memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemajuan dan penegakan HAM,” ujar Mimin.
Menurut Mimin tanpa adanya dukungan-dukungan tersebut maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. “Kalau kita hanya menyerahkan ke proses hukum, itu akan sangat sulit. Semakin lama ini dibiarkan, maka akan semakin sulit untuk dituntaskan dan semakin sedikit generasi yang mengetahui. Semakin sulit pula mencari saksi karena banyak yang sudah tua atau bahkan meninggal,” kata Mimin.
Menutup paparannya, Mimin memberikan kesimpulan bahwa penegakan HAM di Indonesia menurutnya masih jauh dari harapan. Ada langkah-langkah positif yang telah dilakukan, namun masih banyak juga yang negatif.
“Kalau melihat tujuan dari Komnas HAM, itu masih jauh dari harapan. Walaupun demikian, memang sudah ada langkah-langkah yang cukup positif dibeberapa hal. Tetapi, masih banyak juga yang negatif, misalnya penggusuran tanah secara sewenang-wenang atas nama kepentingan umum, perlakuan yang sewenang-wenang oleh aparat negara kepada masyarakat, ini situasinya juga masih belum kondusif. Maka dari itu sangat penting peran dari mahasiswa untuk secara bersama dengan segenap lembaga maupun organisasi masyarakat sipil mendorong menciptakan situasi yang kondusif untuk menegakkan HAM,” kata Mimin menutup paparannya. (Niken Sitoresmi/MDH/Ibn)
Demikian beberapa poin pemantik diskusi yang disampaikan Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono pada Dialog Publik bertajuk "Menyoal Krisis Penegakan HAM di Indonesia". Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Sultan Agung Cabang Semarang, Senin, 10 Mei 2021.
Mengawali paparannya, Mimin -- sapaan akrab Mimin Dwi Hartono --, menjelaskan tiga mandat undang-undang yang melekat pada Komnas HAM yaitu: UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menyoroti penegakan HAM di Indonesia, Mimin mengelompokkannya dalam dua kategori yaitu penegakan HAM dalam konteks UU tentang HAM serta pengadilan HAM.
Untuk kategori pertama Mimin menjelaskan Komnas HAM sesuai mandatnya telah menerima kurang lebih 2500 kasus pengaduan pada tahun 2019 dan 2400 kasus di tahun 2020 terkait kasus dugaan pelanggaran HAM dari berbagai daerah. “Nah, siapa yang diadukan? Selama beberapa tahun terakhir memang cukup konstan. Pertama yang paling banyak diadukan adalah kepolisian, kedua korporasi/swasta, ketiga pemerintah daerah. Tiga aktor utama ini yang paling banyak diadukan oleh masyarakat,” kata Mimin.
Selanjutnya dalam konteks pengadilan HAM, Komnas HAM di tahun 2019 telah melakukan survei nasional di 34 provinsi. Survei ini terkait dengan persepsi masyarakat, bagaimana masyarakat memandang berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang berat. Survei dilakukan tahun 2019 tetapi masih relevan hingga saat ini dengan total 1200 responden dari 34 provinsi di Indonesia.
Salah satu hasil survei yang dijelaskan Mimin adalah terkait penuntasan kasus HAM masa lalu. Hasil survei menunjukkan bahwa penyelesaian kasus masih simpang siur di mata publik. “Untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu, diambil lima contoh yaitu: Peristiwa 1965, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penculikan Aktivis 1997-1998, Penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan Kerusuhan Mei 1998,” ucap Mimin.
Untuk Peristiwa 1965, sebagian besar responden atau 38,6% mengatakan tidak tahu dan 34,9% mengatakan belum tuntas. Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 sebanyak 44,8% responden mengatakan tidak tahu dan 32,1% belum tuntas. Penculikan Aktivis 1997-1998 sebanyak 43,4% responden mengatakan belum tuntas dan 36,5 % tidak tahu, Penembakan Trisakti-Semanggi 1998 sebanyak 42,2% responden mengatakan belum tuntas dan 37,3% tidak tahu. Kerusuhan Mei 1998 sebanyak 40% responden mengatakan belum tuntas serta 35,2% tidak tahu.
Lebih lanjut Mimin mengungkapkan terkait pentingnya peran mahasiswa dalam upaya mendukung pemajuan dan penegakan HAM. “Kesimpulannya, perlu ada edukasi terus menerus kepada masyarakat. Di sini peran mahasiswa menjadi penting karena mahasiswa merupakan motor penggerak reformasi, pembela HAM dan pengedukasi kepada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membangun diskusi publik, membuat poster-poster di media sosial supaya masyarakat teredukasi,” kata Mimin.
Mimin menambahkan bahwa partisipasi mahasiswa tersebut juga tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Ini dijamin dalam pasal 100 UU HAM bahwa setiap orang, organisasi atau individu itu memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemajuan dan penegakan HAM,” ujar Mimin.
Menurut Mimin tanpa adanya dukungan-dukungan tersebut maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. “Kalau kita hanya menyerahkan ke proses hukum, itu akan sangat sulit. Semakin lama ini dibiarkan, maka akan semakin sulit untuk dituntaskan dan semakin sedikit generasi yang mengetahui. Semakin sulit pula mencari saksi karena banyak yang sudah tua atau bahkan meninggal,” kata Mimin.
Menutup paparannya, Mimin memberikan kesimpulan bahwa penegakan HAM di Indonesia menurutnya masih jauh dari harapan. Ada langkah-langkah positif yang telah dilakukan, namun masih banyak juga yang negatif.
“Kalau melihat tujuan dari Komnas HAM, itu masih jauh dari harapan. Walaupun demikian, memang sudah ada langkah-langkah yang cukup positif dibeberapa hal. Tetapi, masih banyak juga yang negatif, misalnya penggusuran tanah secara sewenang-wenang atas nama kepentingan umum, perlakuan yang sewenang-wenang oleh aparat negara kepada masyarakat, ini situasinya juga masih belum kondusif. Maka dari itu sangat penting peran dari mahasiswa untuk secara bersama dengan segenap lembaga maupun organisasi masyarakat sipil mendorong menciptakan situasi yang kondusif untuk menegakkan HAM,” kata Mimin menutup paparannya. (Niken Sitoresmi/MDH/Ibn)
Short link