Jakarta - Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) 5 Lembaga Negara yaitu Komnas HAM RI, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK dan Ombudsman RI menyelenggarakan Diskusi: Dukungan Media dalam Pencegahan Penyiksaan yang berlangsung secara daring dan luring bertempat di Shangrila Hotel, Jakarta, Rabu (17/03/2021).
Hadir dalam kegiatan tersebut, Wakil Ketua Ekstetnal Komnas HAM RI Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, Komisioner KPAI Putu Elvina, Manager Program KuPP Antonio Pradjasto, Analisis Kebijakan Ahli Muda LPSK Ahmad Soleh dan Kepala Keasistenan Pencegahan pada Keasistenan Utama Penegakan Hukum I Ombudsman RI Yustus Martubongs, para jurnalis media cetak, elektronik maupun online serta jajaran unit kerja terkait.
Diskusi ini digelar untuk mendorong peran media dalam menyuarakan pencegahan penyiksaan salah satunya melalui ratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) oleh Pemerintah Indonesia. OPCAT merupakan protokol pilihan dari CAT yang mengatur mengenai mekanisme pencegahan penyiksaan. Seperti protokol pilihan lainnya, perjanjian ini menambahkan klausul dari perjanjian pokoknya yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan. Titik perhatian protokol ini adalah pencegahan, melalui pengawasan atas tempat-tempat tahanan dan tercerabutnya kebebasan. Mekanisme ini bekerja secara independen dan mengandalkan bukti-bukti serta dialog konstruktif dalam mengusulkan perbaikan baik dalam hal pelayanan maupun perbaikan sistem di lapangan.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin Al Rahab menilai penting untuk meratifikasi OPCAT mengingat Indonesia telah sejak 23 tahun lalu melakukan Pengesahan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
“Jadi konvensi pencegahan penyiksaan itu sudah ada dalam hukum positif di Indonesia yang harus digunakan dan menjadi acuan. Oleh karena itu ada keperluan dan kebutuhan kita secara kenegaraan untuk memperkuat Undang-Undang itu dengan protokol tambahan Undang-Undang tersebut yang disebut OPCAT ini dibutuhkan supaya ke depan Indonesia bisa meminimalisir praktik-praktik terjadinya penyiksaan, dan tindakan yang tidak manusiawi,” jelas Amiruddin. Ia berharap dengan ratifikasi OPCAT, praktik penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi dapat dicegah dari awal. Ada panduan sehingga aparatur dapat menangani secara tepat.
Persepsi Penyiksaan di Indonesia
Amiruddin menilai konsepsi penyiksaan di Indonesia masih seringkali rancu diterjemahkan, sehingga sulit membedakan tipe tindakan (penyiksaan-red). Oleh karenanya perlu dipahami terminologi yang mesti digunakan secara tepat agar tidak semua disebut penganiayaan.
Amir menerangkan bahwa penyiksaan merupakan perlakuan kekerasan terhadap orang yang berada dalam penguasaan alat Negara (sedang ditahan-red), sedangkan jika alat Negara (aparat Negara-red) melakukan tindakan kekerasan fisik berlebihan kepada orang yang belum berada dalam penguasaan Negara, hal ini merupakan exsessive force.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin pun mengaminkan bahwa isu tentang penyiksaan di Indonesia masih sulit dipahami bagi masyarakat. Prinsip penyiksaan menurut Mariana, sebetulnya mengandung sebuah arti yang menunjukkan sebuah pola relasi antara Negara dengan masyarakat. Pada saat masyarakat sedang tidak memiliki kebebasan sama sekali, ia tidak punya ruang untuk melawan, tidak punya ruang untuk mempertahankan dirinya maka disitulah pelanggaran HAM yang disebut penyiksaan terjadi.
Komisioner KPAI Putu Elvina pun mendorong peran aktif dan dukungan jurnalis media massa dalam mengedukasi publik mengenai isu peyiksaan misalnya dengan sosialisasi terkait topik penyiksaan, batasan penyiksaan hingga turut mendorong Pemerintah untuk ratifikasi OPCAT. Ini merupakan peran penting media dalam upaya pencegahan penyiksaan. (AAP/AM/HAS)
Short link