Kabar Latuharhary - Komnas HAM berada pada posisi mendukung revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) demi melindungi hak atas kebebasan dan berekspresi. Selayaknya, seluruh kebijakan harus mengadopsi prinsip-prinsip HAM. Kajian mendalam sedang dilakukan dengan merujuk pada standar HAM yang telah dirumuskan dalam SNP (Standar Norma Pengaturan) hak atas bebebasan berpendapat dan berekspresi. SNP hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa menjadi acuan dalam proses revisi UU ITE.
Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, saat menjadi salah satu narasumber dalam FGD Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Rabu (17/03/2021). Dalam FGD yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia ini, Sandra mengungkapkan bahwa Komnas HAM saat ini terfokus pada pembahasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Komnas HAM pada 2020 menerima 22 aduan terkait serangan digital dan Undang-Undang ITE.
Lebih lanjut, Sandra menyampaikan bahwa pada 2020, Komnas HAM juga melakukan survey dibantu oleh Litbang Kompas dengan 1.200 responden yang tersebar di wilayah Indonesia. “Sebanyak 36,2% dari total 1.200 responden itu merasa tidak bebas dan tidak aman menyampaikan ekspresinya di media sosial dan internet,” jelasnya.
Sandra kemudian mengungkapkan pentingnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pertama, bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya, harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, kebebasan berpendapat dan berekspresi diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Ketiga, bahwa negara memiliki kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi HAM khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Standar Norma dan Pengaturan (SNP) hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi ini masuk dalam program Prioritas Nasional (PN) yang bisa menjadi pedoman bagi aparat negara untuk memastikan tidak ada kebijakan dan tindakan pembatasan atau pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, bisa menjadi pedoman bagi publik (baik individu atau kelompok) agar memahami tindakan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk memastikan hak asasinya terlindungi dan tidak melakukan tindakan diskriminatif serta sebagai pedoman kepada aktor non negara untuk menghindari tindakan yang membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, jelas Sandra.
Ketika disinggung terkait apa saja good practices dari negara lain maupun Komisi HAM Internasional juga produk-produk hukum yang bisa dijadikan contoh untuk membantu proses revisi UU ITE, Sandra menyampaikan komitmennya. Komnas HAM akan membantu mengumpulkan beberapa good practices dari negara lain, terutama dari National Human Rights Institutions (NHRIs). Ia pun berharap semoga bisa berkontribusi bagi proses revisi UU ITE.
Ketua Komisi Kejaksaan RI, Dr. Barita Simanjuntak, yang juga hadir dalam FGD mengungkapkan kegamangan aparat hukum yang diuji karena tidak ada satu pegangan yang kuat untuk menentukan apakah satu kasus berkaitan dengan UU ITE bertolak belakang penyelesaiannya dengan prinsip HAM. Menurutnya, masih perlu dicari formula paling tepat yang tidak hanya bisa diselesaikan elemen masyarakat.
Menanggapinya, Sandra menjelaskan soal solusi jangka pendek dan jangka panjang. Komnas HAM mendorong aparat penegak hukum agar memahami SNP yang akan disahkan awal April nanti. Apabila bisa dijadikan norma, hal itu bisa jadi solusi jangka pendek untuk dijadikan pegangan bagi aparat penegak hukum menangani kasus-kasus UU ITE atau kebebasan berpendapat dan berekspresi. Untuk solusi jangka panjangnya, bisa dengan melakukaan proses revisi UU ITE secara partisipatif dengan mengutamakan prinsip HAM.
Sandra pun menjelaskan cakupan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, antara lain pidato dan ekspresi politik; ekspresi keagamaan, seni dan simbolis; hak atas perlindungan data pribadi; kebebasan pers; hak atas internet; hak atas informasi dan informasi publik; kebebasan akademik; ekspresi dan keamanan nasional serta hak-hak keistimewaan.
Lanjut Sandra, kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat dibatasi. Namun, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dalam dan untuk kondisi tertentu. Bahwa pembatasan tersebut harus diatur berdasarkan hukum; diperlukan dalam masyarakat demokratis; serta untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik serta hak dan kebebasan orang lain.
“Negara dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi tidak bisa sewenang-wenang, harus dilakukan secara legal berdasar regulasi. Perlu ada pengaturan secara jelas agar pembatasan sesuai prinsip HAM dan merujuk pada konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga berdasar prinsip non diskriminatif, akuntabel dan bisa diuji oleh publik,” pungkas Sandra. (Utari/LY)
Short link