Latuharhary - Komnas HAM RI melansir laporan pelaksanaan Pilkada 2020 dalam situasi pandemi COVID-19. Beberapa catatan terkait pemenuhan hak atas kesehatan dan keselamatan hidup setiap warga negara menjadi perhatian.
“Komnas HAM termasuk kritis sejak awal karena sangat khawatir terhadap kondisi kesehatan kita, karena ada kampanye pilkada, akan ada kerumuman, tetapi putusan politik sudah diambil, keputusan nasional yang harus dijalankan,” tutur Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam Webinar Peluncuran Laporan Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah Serantak Tahun 2020, Jumat (5/3/2021).
Komnas HAM melaksanakan pemantauan pemilihan kepala daerah dengan sejumlah pertimbangan urgensi, di antaranya: ancaman terhadap hak atas kesehatan bagi 105.396.460 pemilih di 270 daerah pemilihan, ancaman terhadap hak kesehatan bagi 2,9 juta petugas penyelenggara Pilkada 2020, potensi terganggunya hak bebas dari diskriminasi dan hak sipil politik (hak memilih dan dipilih) serta potensi terganggunya hak pilih dan dipilih sesuai prinsip HAM (free and fair election).
Koordinator Subkomisi Penegakan Komnas HAM RI sekaligus Ketua Tim Pemantauan Pilkada 2020
Hairansyah menyampaikan kegiatan pemantauan Pilkada yang terselenggara sejak 2014, kali ini jangkauannya lebih luas karena dibantu oleh kantor perwakilan Komnas HAM RI di daerah.
“Kami sangat berterima kasih kepada teman-teman KPU dan Bawaslu, banyak dukungan yang diberikan pada kegiatan diskusi, bantuan akses data-data terkait di daerah-daerah, informasi yang disampaikan kepada kami terkait dengan proses pemantauan yang kita lakukan,” kata Hairansyah.
Dukungan tersebut menghasilkan sejumlah catatan penting. Pertama, implementasi protokol kesehatan selama Pilkada, baik dari pendaftaran, kampanye, hingga pencoblosan dan penghitungan suara yang mengancam hak atas kesehatahn bagi pemilih dan petugas pilkada. Kedua, pilkada di masa pandemi mengancam prinsip free and fair yang bertujuan mendapatkan pemimpin yang benar-benjar representasi dari masyarakat luas.
Data Komnas HAM menunjukkan bahwa jumlah kasus keseluruhan sebelum pemungutan suara meningkat, dan setelah pemungutan suara juga meningkat. Komnas HAM telah melakukan pemantauan Pra Pilkada di Banten, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, pemantauan pasca pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua.
Terkait oligarki, terlihat menguatnya pasangan calon tunggal yang terjadi di 25 daerah di Indonesia sehingga akan berpotensi merugikan kepentingan publik dngn keterbatasan ragam kandidat. Selain itu, muncul pasangan calon atau kandidat yang memiliki relasi khusus baik berkaitan dengan para petahana maupun memiliki hubungan kekerabatan, baik sebagai istri, anak dan menantu dari para elit politik – tidak terkecuali para pejabat eksekutif seperti Presiden, Wakil Presiden dan para menteri.
Ada pula persoalan regulasi berkaitan dengan persyaratan mengenai pengajuan calon perseorangan yang cukup memberatkan para kandidat untuk memenuhi syarat dukungan yang bergantung pada DPT.
“Secara langsung dan tidak langsung menguatnya praktik oligarki dalam proses pemilihan kepala daerah akan mempengaruhi dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di daerah,” tegas Hairansyah.
Komnas HAM RI juga melayangkan rekomendasi pada pemerintah pusat dan daerah, Bawaslu dan Kepolisian RI, serta berbagai pihak terkait aspek penerapan protokol kesehatan dan kepemiluan dan rekomendasi terkait aspek pemilu yang adil dan bebas.
Penanggap dalam peluncuran laporan ini, Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi, Ketua Bawaslu RI Abhan serta Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyaty. (SP/AAP/IW)
Short link