Kabar Latuharhary - Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara menjadi pembicara dalam diskusi online “Tackling Discrimination, Ending Inequalities : Mendorong Jaminan Perlindungan HAM yang Efektif bagi Kelompok Rentan dan Marjinal di Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), pada Rabu (03/03/2021).
Turut hadir dalam diskusi, Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Novita Puspitasari, dan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), Edison Butar Butar, dan dimoderatori oleh perwakilan Jaringan Transgender Indonesia, Rebecca Nyuei.
Pada kesempatan ini, Beka menjelaskan tantangan ke depan dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok rentan dan marjinal di Indonesia. Tantangan pertama ialah terkait kebijakan diskriminasi dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Aparat Penegak Hukum. “Untuk pemerintah pusat, kita masih dapat mengontrol agar tidak keluar kebijakan yang diskriminatif. Tetapi, tantangan yang lebih besar adalah kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Khususnya, apabila kebijakan tersebut tidak tertulis, atau tidak kuat secara tata negara, tetapi sifatnya hanya instruksi. Tetapi, celakanya kebijakan tersebut dijadikan pegangan sebagai dasar untuk melakukan tindakan diskriminaitif. Kita harus mendorong kebijakan yang setara, melindungi warga negara,” ujar Beka.
Apabila melihat dari tipologi aduan masyarakat ke Komnas HAM, beberapa tindakan yang paling banyak diaduakan ialah terkait kesewenangan dan penangkapan, dipersulit mendapatkan pendidikan, pembubaran pelatihan, kekerasan dalam proses hukum, serta pengusiran dan persekusi. Sementara itu, pihak yang paling banyak diadukan adalah Kepolisian, Pemerintah Daerah, ASN, dan Organisasi Masyarakat.
“Tantangan kedua ialah tindakan represif Aparat Keamanan. Ketiga, terkait kelompok intoleran. Kelompok intoleran ini mungkin tidak represif, tetapi kemudian mereka seperti mengambil jarak dan menyisikan sebagian orang yang dianggap beda,” ucap Beka
Beka menjelaskan tantangan lain yang tidak kalah penting dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok rentan dan marjinal di Indonesia, ialah menyangkut isu intoleransi dan konservatisme agama, serta terkait strategi pengorganisasian dan perlawanan yang dapat menjadi refleksi dalam pemenuhan HAM ke depannya.
“Semakin banyak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang dibuat hanya berdasarkan pada nilai-nilai atau agama tertentu, dan hal ini tidak hanya terjadi disatu daerah saja. Seperti contoh, ketika pemimpin daerah membuat suatu kebijakan yang berdasarkan pada keyakinannya/agama yang dianutinya saja. Sementara itu, kita terkadang ada debat bagaimana menerapkan soal favoritism. Karena, ketika membuat suatu kebijakan, harus berdasarkan pada konstitusi kita, bukan pada satu agama tertentu,” ungkap Beka.
Turut hadir dalam diskusi, Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Novita Puspitasari, dan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), Edison Butar Butar, dan dimoderatori oleh perwakilan Jaringan Transgender Indonesia, Rebecca Nyuei.
Pada kesempatan ini, Beka menjelaskan tantangan ke depan dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok rentan dan marjinal di Indonesia. Tantangan pertama ialah terkait kebijakan diskriminasi dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Aparat Penegak Hukum. “Untuk pemerintah pusat, kita masih dapat mengontrol agar tidak keluar kebijakan yang diskriminatif. Tetapi, tantangan yang lebih besar adalah kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Khususnya, apabila kebijakan tersebut tidak tertulis, atau tidak kuat secara tata negara, tetapi sifatnya hanya instruksi. Tetapi, celakanya kebijakan tersebut dijadikan pegangan sebagai dasar untuk melakukan tindakan diskriminaitif. Kita harus mendorong kebijakan yang setara, melindungi warga negara,” ujar Beka.
Apabila melihat dari tipologi aduan masyarakat ke Komnas HAM, beberapa tindakan yang paling banyak diaduakan ialah terkait kesewenangan dan penangkapan, dipersulit mendapatkan pendidikan, pembubaran pelatihan, kekerasan dalam proses hukum, serta pengusiran dan persekusi. Sementara itu, pihak yang paling banyak diadukan adalah Kepolisian, Pemerintah Daerah, ASN, dan Organisasi Masyarakat.
“Tantangan kedua ialah tindakan represif Aparat Keamanan. Ketiga, terkait kelompok intoleran. Kelompok intoleran ini mungkin tidak represif, tetapi kemudian mereka seperti mengambil jarak dan menyisikan sebagian orang yang dianggap beda,” ucap Beka
Beka menjelaskan tantangan lain yang tidak kalah penting dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok rentan dan marjinal di Indonesia, ialah menyangkut isu intoleransi dan konservatisme agama, serta terkait strategi pengorganisasian dan perlawanan yang dapat menjadi refleksi dalam pemenuhan HAM ke depannya.
“Semakin banyak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang dibuat hanya berdasarkan pada nilai-nilai atau agama tertentu, dan hal ini tidak hanya terjadi disatu daerah saja. Seperti contoh, ketika pemimpin daerah membuat suatu kebijakan yang berdasarkan pada keyakinannya/agama yang dianutinya saja. Sementara itu, kita terkadang ada debat bagaimana menerapkan soal favoritism. Karena, ketika membuat suatu kebijakan, harus berdasarkan pada konstitusi kita, bukan pada satu agama tertentu,” ungkap Beka.
Sebagai penutup dalam paparan kali ini, Beka menyampaikan catatan bersama menanggapi terkait crisis Response Mechanism (CRM) dan Theory of Change (TOC) atau teori perubahan. Catatan bersama tersebut yang pertama, kekuasaan dan kewenangan terdistribusi, kedua kerjasama dan kolaborasi menjadi kunci, dan yang ketiga penguatan kapasitas dan jaringan kerja adalah prasyarat.
“Perubahan harus diupayakan melalui berbagai pintu dan otoritas, yakni pemerintah, parlemen dan aparat penegak hukum. Tidak bisa hanya ditentukan kepada satu otoritas tertentu saja. Sekarang, narasi publik lebih banyak berdiskusi terkait hal yang berbau agama, tetapi bagaimana kemudian kita dapat memberikan alternatif wacana atau narasi terkait advokasi kita, mungkin juga diperkuat dengan narasi-narasi agama. Sehingga, ada diskursus publik yang mencerahkan dan mencerdaskan.” Ungkap Beka. (Radhia/LY)
Short link