Kabar Latuharhary - Komnas HAM RI pada 2020 - 2022 meletakkan konflik agraria sebagai salah satu isu prioritasnya. Konflik agraria dianggap terkait erat dengan hak asasi manusia lainnya, salah satunya hak atas pangan. Keberadaan dan kepemilikan lahan menjadi salah satu elemen penting dalam pemenuhan hak atas pangan di Indonesia. Namun, dalam pemenuhan hak tersebut muncul permasalahan di masyarakat terkait kepemilikan, pengelolaan dan permasalahan lainnya. Berikut disampaikan Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Beka Ulung Hapsara dalam Webinar Upaya Memenuhi Hak atas Pangan dan Gizi 2021, Selasa (19/1/2021).
Lebih lanjut, Beka mengungkapkan ketika membicarakan hak atas pangan, pasti akan berkaitan dengan hak asasi manusia lainnya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip HAM yaitu saling terkait. Hasil pengamatan Komnas HAM RI beberapa tahun terakhir menemukan bahwa akuisisi lahan dalam skala besar menjadi sebuah rintangan dalam terwujudnya hak atas pangan di Indonesia. Banyak bisnis dan perusahaan yang dilaporkan telah diberikan izin operasi pada lahan yang digunakan masyarakat untuk bertani selama beberapa generasi.
“Sebagai contoh di Merauke, konsesi lahan untuk kelapa sawit sangat luas dan berpengaruh terhadap semakin terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di sana bertahun-tahun. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya kebiasaan dan nilai hidup untuk menjadi tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bagaimana pemenuhan hak masyarakat adat oleh negara,” lanjut Beka.
Dalam Webinar yang yang diselenggarakan oleh Fian Indonesia ini, Beka menyampaikan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bisnis dan pembangunan sejalan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan membuka ruang dalam terjadinya perusakan lingkungan. Selain itu, menurut konsep minimum core obligation, negara wajib untuk melakukan pemenuhan hak atas bahan pangan yang layak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi kelaparan dan ketersediaan pangan dalam keadaan darurat.
Lebih lanjut, Beka mengungkapkan ketika membicarakan hak atas pangan, pasti akan berkaitan dengan hak asasi manusia lainnya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip HAM yaitu saling terkait. Hasil pengamatan Komnas HAM RI beberapa tahun terakhir menemukan bahwa akuisisi lahan dalam skala besar menjadi sebuah rintangan dalam terwujudnya hak atas pangan di Indonesia. Banyak bisnis dan perusahaan yang dilaporkan telah diberikan izin operasi pada lahan yang digunakan masyarakat untuk bertani selama beberapa generasi.
“Sebagai contoh di Merauke, konsesi lahan untuk kelapa sawit sangat luas dan berpengaruh terhadap semakin terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di sana bertahun-tahun. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya kebiasaan dan nilai hidup untuk menjadi tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bagaimana pemenuhan hak masyarakat adat oleh negara,” lanjut Beka.
Dalam Webinar yang yang diselenggarakan oleh Fian Indonesia ini, Beka menyampaikan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bisnis dan pembangunan sejalan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan membuka ruang dalam terjadinya perusakan lingkungan. Selain itu, menurut konsep minimum core obligation, negara wajib untuk melakukan pemenuhan hak atas bahan pangan yang layak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi kelaparan dan ketersediaan pangan dalam keadaan darurat.
Pemenuhan hak atas pangan dapat diselenggarakan lewat kemandirian dan kedaulatan pangan. Kecukupan produksi dalam negeri harus menjadi prioritas pemerintah untuk mewujudkan kecukupan cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat.
“Untuk permasalahan yang baru-baru ini soal kedelai dan lainnya harus segera dipecahkan dengan cara-cara yang revolusioner. Harus ada quickwins dan menurut saya itu bukan impor. Negara harus mengontrol betul program yang sudah dicanangkan supaya berjalan baik di lapangan,” tegas Beka.
Menanggapi terkait ekonomi digital, Beka mengungkapkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana perspektif perlindungan bagi warga negara oleh negara, termasuk pemerintah daerah dan aparat penegak hukum agar tidak serta merta menggunakan kekuatan mereka secara berlebihan. “Saat ini sedang banyak pelaporan dengan menggunakan Undang-undang ITE, jangan sampai tren ini semakin meningkat ketika semakin banyak sektor pembangunan yang masuk ke digital. Perlu diperjelas hak warga negara dalam konteks tersebut dilindungi sampai mana batasnya. Hal ini menjadi tugas bersama pemerintah, masyarakat sipil, sektor bisnis dan sektor lainnya sehingga kesejahteraan masyarakat terpenuhi dan penghormatan hak asasi manusia juga berjalan beriringan,” pungkas Beka. (Utari/LY)
Short link