Kabar Latuharhary - "Kalau berbicara terkait masyarakat hukum adat, ada 3 masalah utama yaitu konflik agraria, pengakuan masyarakat adat oleh Negara dan perindungan bagi pembela HAM (human rights defender)," jelas Komisioner Komnas HAM Hairansyah, Minggu (13/09/2020). Hal tersebut disampaikannya saat manjadi narasumber dalam diskusi "Masyarakat dan Tanah Adat dalam Hukum Besi Korporasi: Siapa Untung dan Buntung?" yang diadakan secara daring oleh Komunitas Akademia Benua Banjar bersama Fisipol Universitas Widya Mataram-Yogya.
Hairansyah menjelaskan bahwa konflik agraria bukanlah suatu hal yang baru dan sudah terjadi sejak zaman kolonial. Berdasarkan data aduan yang diterima Komnas HAM RI, masyarakat adat banyak menjadi subjek pelanggaran HAM. Sejak Januari sampai dengan Agustus 2020, data aduan yang masuk di Komnas HAM RI sebagian besar terkait persoalan konflik agraria.
Berdasarkan data pengaduan tersebut, Sumatera Utara menjadi daerah tertinggi dengan aduan terkait permasalahan lahan. Sedangkan pihak tertinggi yang diadukan adalah kepolisian, korporasi dan pemerintah daerah. Sejak zaman Belanda sampai dengan saat ini permasalahan lahan tidak selesai dan terus terjadi.
"Reforma agraria menjadi agenda reformasi yang harus diselesaikan oleh Pemerintah dalam masa reformasi. Di era Presiden Jokowi, ada program reforma agraria namun nyatanya lebih ke bagi-bagi sertifikat tanah," ungkap Hairansyah.
Menurutnya, sertifikasi lahan tidak menyelesaikan persoalan pokok, namun hanya menyelesaikan sebagian dengan memberikan kekuatan kepada beberapa kelompok tertentu. Walau begitu, bagi kelompok masyarakat adat dirasa masih belum mendapat haknya secara memadai.
"Problem besar lainnya adalah bagaimana mengakui masyarakat adat sebagai masyarakat komunal, bukan individual. Dengan sertifikasi yang dilakukan ini hanya bersifat individual, padahal masyarakat hukum adat itu ciri khasnya bersifat komunal," tambahnya.
Lebih lanjut, Hairansyah memaparkan arti pelaksanaan reforma agraria pada konteks hak asasi manusia yaitu dalam usaha untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Disampaikannya, hak atas tanah bukan merupakan hak universal. Namun, hak atas tanah memiliki korelasi langsung dengan hak asasi manusia yang paling universal yaitu hak atas hidup, hak atas kekayaan dan lain-lain.
"Apabila tidak ada tanah, hak hidup menjadi terancam bagi masyarakat adat. Sehingga hal ini menjadi penting dalam konteks masyarakat hukum adat," tegas Hairansyah.
Hairansyah juga menyinggung terkait pemberian izin usaha kepada korporasi untuk melaksanakan kegiatan pertambangan dan ekspansi sawit pada daerah yang telah dihuni oleh masyarakat adat. Hal ini menjadikan permasalahan agraria masih terus terjadi karena izin usaha terus diberikan namun masyarakat tidak diberi pengakuan dan lahan yang tersedia pun semakin sempit.
Terkait masyarakat adat sebagai pembela HAM, Hairansyah menyebutkan bahwa dalam konteks hak asasi manusia, setiap orang yang memperjuangkan HAM disebut pembela HAM (human rights defender). Masyarakat adat di sini selain memperjuangkan hak mereka sendiri, juga memperjuangkan wilayah dan kawasan hutan yang penting untuk menyelamatkan lingkungan serta kehidupan makhluk hidup lainnya.
"Perlindungan bagi pembela HAM menjadi sangat penting karena kalau orang ingin menyuarakan haknya namun mendapat ancaman dan kriminalisasi, maka siapa lagi yang akan menyuarakan haknya," pungkas Hairansyah. (Utari/Ibn)
Short link