Kabar Latuharhary – Menyoal Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang pelibatan TNI dalam menangani terorisme, Komnas HAM memberikan batasan level bagi TNI dalam pelibatan tindakan terorisme. Komnas HAM menilai Raperpres tersebut tidak mencerminkan semangat pendekatan criminal justice system. Melihat adanya potensi pelanggaran HAM yang akan terjadi, Komnas HAM sangat mendukung Presiden untuk menarik dan mendiskusikan kembali Raperpres tersebut dengan lebih mendalam.
Sejumlah catatan Komnas HAM tersebut disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M.Choirul Anam, dalam diskusi virtual “Menimbang Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme di Negara Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Imparsial, Kamis, (24/09/2020). Menurut Anam, Komnas HAM telah memberikan catatannya melalui surat kepada pimpinan DPR dan Presiden terkait draf Perpres tersebut. “Pelibatan TNI dalam aksi terorisme, ada catatan mendalam, walaupun Komnas HAM tidak menolaknya, kapan TNI harus terlibat dan tidak terlibat”, ungkap Anam.
Anam melanjutkan, dari berbagai kajian dan pengalaman kasus yang ditangani oleh Komnas HAM, peran TNI yang dibutuhkan dalam terorisme, hanya di level penindakan saja. Kendali penindakan ini pun harus dijalani oleh Presiden dengan konsultasi melalui DPR.
“Jadi memang, perspektif yang kami gunakan adalah skala ancaman, kapan dan dimanakah TNI terlibat. Tidak bisa dipungkiri, skala ancaman pada titik yang paling krusial membutuhkan pendekatan militer. Misalnya, pada aksi terorisme dalam skala yang paling tinggi, polisi tidak bisa menanganinya. Yang paling penting bagaimana kita merumuskan skala ancamannya, sehingga bisa merumuskan peran keterlibatan TNI dalam konteks penanggulangan aksi terorisme di negara kita”, lanjut Anam.
Komnas HAM juga memberikan dukungan bagi pendekatan terorisme pada criminal justice system dengan pendekatan yang jauh lebih komprehensif. Dari pemulihan, penangkalan dan penindakan, serta sifatnya tidak ad-hoc. “Kalau pelibatan TNI seluas yang ada di raperpres, saya kira itu akan sangat merugikan militer kita. Padahal, militer kita dibutuhkan untuk melakukan penindakan terorisme, hal tersebut bisa membahayakan dirinya. Oleh, karena itu, Komnas HAM memberikan pandangan soal draf ini, mendukung peran TNI/pelibatan militer dalam kerangka hanya untuk penindakan terorisme saja dengan skala dan ancaman yang terukur”, jelas Anam.
Ancaman bagi penegakan HAM di Indonesia
Potensi pelanggaran HAM dapat terjadi, jika kewenangan TNI seluas yang tercantum pada raperpres. Salah satunya menurut Anam dengan tidak memberikan adanya kepastian hukum, dan keadilan. “Potensi pelanggaran HAM dapat terjadi karena kita tidak punya alat ukur apa yang akan dilakukan oleh TNI, bagaimana melakukannya, dan aturan mainnya. Bangsa ini membutuhkan peran TNI dalam skala ancaman terorisme yang akan sangat mengerikan kemanusian dan bisa mengancam negara. Nah, ketika kita mebutuhkan itu, jangan sampai militernya tidak terlindungi”, seru Anam.
Anam juga menambahkan terkait pentingnya pengawasan dan evaluasi yang mendalam agar perlawanan terhadap aksi-aksi terorisme jauh lebih baik, mengakar, dan sesegera mungkin dapat diatasi.
“Dalam UU No. 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disamping berbicara pelibatan TNI, perlu juga ada pengawasan dari DPR. Oleh karenanya, Komnas HAM sangat mendukung Presiden dapat menarik dan mendiskusikan kembali drafnya dengan lebih mendalam”, pungkas Anam. (Niken/Ibn)
Short link