Kabar Latuharhary – Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dipandang sebagai hak negatif dan hak positif. Sebagai hak negatif, KBB seseorang tidak dapat dipaksa oleh pihak manapun. Dalam hak positif, KBB mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dianutnya, termasuk memilih untuk tidak beragama dan berkeyakinan.
“Kebebasan warga negara untuk memilih agama dan keyakinan merupakan pemenuhan hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara,” kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM RI, saat menjadi narasumber dalam Web Seminar (Webinar) yang diselenggarakan oleh Roemah Bhinneka pada Kamis (24/09/2020).
Webinar ini juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR), Akhol Firdaus dan Inge Christanti dari Pusham Universitas Surabaya. Webinar ini mengangkat tema “Penyangkalan Tiada Henti: Situasi Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan”.
Akhol mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu satu dekade (2008-2018) setidaknya terdapat 2.453 kasus pelanggaran HAM atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB). Sebanyak 1.420 kasus pelanggaran KBB tersebut, dilakukan oleh aktor non negara, sedangkan 1.033 kasus lainnya dilakukan oleh negara. Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan dan perlindungan terkait KBB di Indonesia belum dilakukan dengan baik.
Beka menjelaskan bahwa dalam prinsip dan norma KBB, kebebasan menjalankan agama atau keyakinan hanya dapat dibatasi oleh aturan hukum. Pembatasan hanya dimungkinkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Lebih lanjut, pembatasan tersebut dibuat sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan hanya dilakukan hanya ketika ‘dibutuhkan’ contohnya pembatasan beribadah dalam penanganan COVID-19 dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembatasan dilakukan bukan untuk mendiskriminasi komunitas agama atau keyakinan tertentu seperti yang dilakukan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap KBB, ujar Beka.
Beka melanjutkan bahwa dalam mencegah potensi pelanggaran oleh aparat penegak hukum, Komnas HAM telah memiliki MoU dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait program pelatihan Polisi Berbasis HAM (PBH). PBH adalah program preventif yang dibentuk Komnas HAM dan Polri.
Melalui program PBH ini, keputusan yang dibuat oleh aparat penegak hukum dilapangan diharapkan dapat berperspektif HAM. “Dengan adanya pemahaman HAM, potensi terjadinya pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terkait KBB dapat diminimalisir,” pungkas Beka. (Feri/Ibn)
“Kebebasan warga negara untuk memilih agama dan keyakinan merupakan pemenuhan hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara,” kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM RI, saat menjadi narasumber dalam Web Seminar (Webinar) yang diselenggarakan oleh Roemah Bhinneka pada Kamis (24/09/2020).
Webinar ini juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR), Akhol Firdaus dan Inge Christanti dari Pusham Universitas Surabaya. Webinar ini mengangkat tema “Penyangkalan Tiada Henti: Situasi Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan”.
Akhol mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu satu dekade (2008-2018) setidaknya terdapat 2.453 kasus pelanggaran HAM atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB). Sebanyak 1.420 kasus pelanggaran KBB tersebut, dilakukan oleh aktor non negara, sedangkan 1.033 kasus lainnya dilakukan oleh negara. Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan dan perlindungan terkait KBB di Indonesia belum dilakukan dengan baik.
Beka menjelaskan bahwa dalam prinsip dan norma KBB, kebebasan menjalankan agama atau keyakinan hanya dapat dibatasi oleh aturan hukum. Pembatasan hanya dimungkinkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil.
Lebih lanjut, pembatasan tersebut dibuat sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan hanya dilakukan hanya ketika ‘dibutuhkan’ contohnya pembatasan beribadah dalam penanganan COVID-19 dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembatasan dilakukan bukan untuk mendiskriminasi komunitas agama atau keyakinan tertentu seperti yang dilakukan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap KBB, ujar Beka.
Beka melanjutkan bahwa dalam mencegah potensi pelanggaran oleh aparat penegak hukum, Komnas HAM telah memiliki MoU dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait program pelatihan Polisi Berbasis HAM (PBH). PBH adalah program preventif yang dibentuk Komnas HAM dan Polri.
Melalui program PBH ini, keputusan yang dibuat oleh aparat penegak hukum dilapangan diharapkan dapat berperspektif HAM. “Dengan adanya pemahaman HAM, potensi terjadinya pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terkait KBB dapat diminimalisir,” pungkas Beka. (Feri/Ibn)
Short link