Kabar Latuharhary –Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak, sehingga negara memiliki keterikatan dan kewajiban untuk menjalankannya sesuai dengan norma hukum internasional. Dalam hal ini, negara memiliki tanggungjawab untuk pemenuhan, perlindungan, penghormatan, dan penegakan terhadap hak anak. Tumbuh kembang anak perlu menjadi perhatian bersama agar benar-benar terlindungi, baik dari sisi psikis maupun psikologis.
Point - point tersebut disampaikan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara sebagai pemantik diskusi, pada webinar “Eksploitasi Anak dalam Hukum dan HAM di Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPC GMNI Surabaya, Selasa, (01/09/2020). Beka mengungkapkan bahwa salah satu dari 10 instrumen HAM PBB yang sudah diratifikasi oleh Indonesia diantaranya adalah Konvensi Hak Anak.
“Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, sejak tahun 1990. Konvensi Hak Anak tersebut, sebenarnya juga merupakan sebuah perjanjian yang mengikat. Artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tesebut terikat pada janji-janji di dalamnya dan wajib untuk melaksanakannya”, ungkap Beka mengawali paparannya.
Beka lebih lanjut menjelaskan bahwa Konvensi Hak Anak secara sederhana, dapat dikelompokkan menjadi tiga hal. Pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak, dalam hal ini, yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.
“Pertama, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, menghormati, dan menegakan hak-hak anak. Sedangkan yang kedua, anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Anak dianggap belum matang secara fisik dan mental, maka kewajiban anak dialihkan kepada orang dewasa yang menjadi pengasuhnya, baik itu keluarga maupun pengasuh dalam bentuk lain seperti adopsi dan lainnya”, jelas Beka.
Dalam cakupan tersebut, Beka kembali memaparkan bahwa Konvensi Hak Anak berisi 54 pasal. Komite Hak Anak PBB mengelompokkan Konvensi Hak Anak ke dalam 8 kelompok, yang berisi langkah-langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip-prinsip umum (non diskriminasi), hak-hak sipil dan Kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dan langkah-langkah perlindungan khusus.
Lebih lanjut, Beka berpandangan bahwa terkait eksploitasi terhadap anak, saat ini sifatnya tidak hanya konvensional dalam hal ekonomi dan kekerasan seksual. “Saya juga ingin menyoroti, bagaimana eksploitasi anak di dunia maya/internet yang saat ini mulai marak. Ketika ada anak-anak yang belum cukup matang melakukan kesalahan dalam posting di social media, itu akan jadi korban bullying ataupun bisa jadi objek pelecehan seksual online”, lanjut Beka.
Eksploitasi anak dalam proses politik juga terjadi. Beka berpandangan bahwa ada upaya “pembiaran” dan tidak adanya edukasi yang cukup massif dan sistematis untuk mencegah anak mendapatkan eksploitasi politik. “Dalam kampanye misalnya, masih sering anak-anak diajak untuk kampanye dan menyatakan sikap, dimana hal tersebut jauh dari konvensi hak anak”, terangnya.
Kemudian soal pemulihan korban, ketika anak menjadi korban, fokusnya tidak hanya soal bagaimana aturan hukumnya, namun juga aspek tumbuh-kembang anak ke depan. Peran lingkungan sekitar, keluarga, RT, RW menjadi penting dalam memulihkan trauma korban agar tumbuh-kembangnya sama dengan yang lain.
Beka menutup diskusi dengan menghimbau untuk menjadi perhatian bersama agar tumbuh-kembang anak dapat benar-benar terlindungi, baik dari sisi psikis maupun psikologis. “Pada titik itulah peran negara menjadi penting, pertama dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi warga negara, Kedua, memastikan penegakan hukum yang adil pada siapapun pelaku yang mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan ekonomi, seksual, maupun yang lainnya”, pungkas Beka. (Niken/Ibn)
Point - point tersebut disampaikan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara sebagai pemantik diskusi, pada webinar “Eksploitasi Anak dalam Hukum dan HAM di Indonesia” yang diselenggarakan oleh DPC GMNI Surabaya, Selasa, (01/09/2020). Beka mengungkapkan bahwa salah satu dari 10 instrumen HAM PBB yang sudah diratifikasi oleh Indonesia diantaranya adalah Konvensi Hak Anak.
“Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, sejak tahun 1990. Konvensi Hak Anak tersebut, sebenarnya juga merupakan sebuah perjanjian yang mengikat. Artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tesebut terikat pada janji-janji di dalamnya dan wajib untuk melaksanakannya”, ungkap Beka mengawali paparannya.
Beka lebih lanjut menjelaskan bahwa Konvensi Hak Anak secara sederhana, dapat dikelompokkan menjadi tiga hal. Pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak, dalam hal ini, yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.
“Pertama, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, menghormati, dan menegakan hak-hak anak. Sedangkan yang kedua, anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Anak dianggap belum matang secara fisik dan mental, maka kewajiban anak dialihkan kepada orang dewasa yang menjadi pengasuhnya, baik itu keluarga maupun pengasuh dalam bentuk lain seperti adopsi dan lainnya”, jelas Beka.
Dalam cakupan tersebut, Beka kembali memaparkan bahwa Konvensi Hak Anak berisi 54 pasal. Komite Hak Anak PBB mengelompokkan Konvensi Hak Anak ke dalam 8 kelompok, yang berisi langkah-langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip-prinsip umum (non diskriminasi), hak-hak sipil dan Kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya dan langkah-langkah perlindungan khusus.
Lebih lanjut, Beka berpandangan bahwa terkait eksploitasi terhadap anak, saat ini sifatnya tidak hanya konvensional dalam hal ekonomi dan kekerasan seksual. “Saya juga ingin menyoroti, bagaimana eksploitasi anak di dunia maya/internet yang saat ini mulai marak. Ketika ada anak-anak yang belum cukup matang melakukan kesalahan dalam posting di social media, itu akan jadi korban bullying ataupun bisa jadi objek pelecehan seksual online”, lanjut Beka.
Eksploitasi anak dalam proses politik juga terjadi. Beka berpandangan bahwa ada upaya “pembiaran” dan tidak adanya edukasi yang cukup massif dan sistematis untuk mencegah anak mendapatkan eksploitasi politik. “Dalam kampanye misalnya, masih sering anak-anak diajak untuk kampanye dan menyatakan sikap, dimana hal tersebut jauh dari konvensi hak anak”, terangnya.
Kemudian soal pemulihan korban, ketika anak menjadi korban, fokusnya tidak hanya soal bagaimana aturan hukumnya, namun juga aspek tumbuh-kembang anak ke depan. Peran lingkungan sekitar, keluarga, RT, RW menjadi penting dalam memulihkan trauma korban agar tumbuh-kembangnya sama dengan yang lain.
Beka menutup diskusi dengan menghimbau untuk menjadi perhatian bersama agar tumbuh-kembang anak dapat benar-benar terlindungi, baik dari sisi psikis maupun psikologis. “Pada titik itulah peran negara menjadi penting, pertama dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi warga negara, Kedua, memastikan penegakan hukum yang adil pada siapapun pelaku yang mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan ekonomi, seksual, maupun yang lainnya”, pungkas Beka. (Niken/Ibn)
Short link