Latuharhari - Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merdeka 75 tahun lalu, namun banyak problematika yang belum kunjung terselesaikan. Kemiskinan, aksi kekerasan hingga ketidakadilan masih mewarnai.
Dalam konteks hak asasi manusia, kasus intoleransi, diskriminasi, konflik agraria hingga kebebasan berekspresi dan berpendapat masih terus bermunculan di Indonesia. Mencermati catatan Komnas HAM RI pada 2019 terdapat 2.757 aduan yang diterima seputar masalah tersebut. Tiga wilayah dengan pengaduan terbanyak ialah DKI Jakarta (414 aduan), Sumatera Utara (248 aduan), dan Jawa Timur (248 aduan). Sementara itu, pihak yang paling banyak diadukan ialah Polri (744 aduan), korporasi (483 aduan), dan pemda (315 aduan).
Secara kuantitas, pokok aduan berdasarkan hak yang banyak diadukan, yakni hak atas kesejahteraan (1.119 aduan). Aduan tersebut mencakup sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan serta sengketa kepegawaian. Di posisi kedua ialah hak memperoleh keadilan sebanyak 888 aduan. Aduan atas hak memperoleh keadilan ini mencakup proses hukum yang tidak sesuai prosedur, lambatnya penanganan kasus, kriminalisasi serta kekerasan. Sisanya terkait hak atas rasa aman yang mencakup ancaman/kekerasan terhadap jiwa maupun benda, penahanan sewenang-wenang, intimidasi hingga teror.
Memasuki periode Januari – Juli 2020, Komnas HAM RI bahkan menerima sedikitnya 1.378 aduan dari masyarakat. Pengaduan tertinggi terpantau pada Maret 2020 dengan jumlah 308 aduan. Tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya, daerah dengan pengaduan terbanyak ialah DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Tipologi kasus yang diadukan juga tidak jauh berbeda dari data sebelumnya. Dalam konflik agraria, misalnya, merunut periode 2013-2019 terdapat 407 konflik di 33 provinsi di Indonesia. Sektor tertinggi pemicu konflik, yakni di perkebunan (92 kasus), infrastruktur dan pemanfaatan Barang Milik Negara/BMN (41), Pertambangan (38), Kehutanan (30), dan lingkungan (10). Minimnya pengakuan hak entitas masyarakat adat, diskriminasi hukum, pengambilan lahan secara sewenang-wenang juga menjadi pemicu konflik lainnya.
Kasus intoleransi ternyata juga masih berkembang di berbagai daerah. Aksi pelarangan dan perusakan rumah ibadah, melarang atau mengganggu aktivitas keagamaan, penolakan warga pendatang yang berbeda agama atau keyakinan hingga penolakan terhadap jenazah teroris maupun penghayat kepercayaan mewarnai upaya perlindungan dan penegakan HAM di negeri ini. Salah satu contoh kasus terakhir, yaitu larangan dan penyegelan pesarean atau bakal makam Tokoh Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (AKUR) Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Terpantau pula tindakan penyerangan dan kekerasan oleh sekelompok terhadap keluarga Umar Assegaf di Solo, Jawa Tengah yang terpicu isu sumir tentang aktivitas aliran Syiah. Bahkan di Yogyakarta, kota berjulukan City of Tolerance juga terjadi penolakan warga terhadap seorang warga baru yang menganut agama tertentu.
Satu hal lagi yang tak boleh dikesampingkan, yakni permasalahan Papua. Pasalnya, kasus diskriminasi ras dan etnis masih terjadi di wilayah Timur Indonesia tersebut.
Gejolak yang disebabkan oleh diskriminasi dan rasisme ini juga mendapat respon di Indonesia melalui menguatnya kembali gerakan anti diskriminasi dan rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP). Tindakan diskriminasi dan rasisme yang dialami oleh orang Papua terbentuk dari prasangka masyarakat yang berubah menjadi persepsi massa. Adanya perasaan identitas tunggal di masyarakat tak urung mendorong seseorang bertindak diskriminasi maupun rasisme.
Dengan banyaknya kasus yang diadukan, Komnas HAM RI berusaha menjalankan fungsinya di sektor pemantauan dan penyelidikan serta mediasi melalui lima mekanisme dalam penanganan kasus. Pertama, surat menyurat, pemanggilan, pemantauan lapangan, Amicus Curiae hingga penyelesaian kasus.
Sementara itu, dalam menjalankan fungsi mediasi, penanganan kasus dilakukan dengan serangkaian kegiatan pokok, yaitu pramediasi, mediasi, dan pasca mediasi.
Peran aktif Komnas HAM RI sebagai tonggak hak asasi manusia masih terus menghadapi banyak tantangan. Faktanya, belasan peristiwa pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum. Peristiwa Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Wasior Wamena, hingga Rumah Geudong tak kunjung menemukan titik terang penyelesaian.
Kasus Paniai, Papua yang telah dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat pada 3 Februari 2020 lalu pun mengalami nasib serupa. Berkas kasus tersebut 'dipingpong' dari Komnas HAM RI ke Kejaksaan Agung RI dan seterusnya. Harapan pun dilontarkan saat kemerdekaan NKRI ke-75 ini agar mata batin aparat hukum senantiasa terbuka bagi penegakan keadilan masyarakat. (AM/IW)
Short link