Kabar Latuharhary – Masyarakat adat Pubabu, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali mengadu ke Komnas HAM. Berdasarkan keterangan saksi dan korban, mereka telah mengalami kekerasan, ketidakadilan, dan dugaan tindak pelanggaran HAM. Hal tersebut karena adanya konflik lahan Hutan Pubabu dengan Pemerintah Provinsi NTT. Ada beberapa komitmen dan upaya yang akan dilakukan oleh Komnas HAM sebagai tindak lanjut awal untuk kasus tersebut.
Bersama dengan Solidaritas Perempuan (SP) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), beberapa perwakilan dari masyarakat adat Pubabu melakukan audiensi secara daring dengan Komnas HAM RI, Jumat (07/08/2020). Suasana kesedihan, trauma dan harapan akan adanya proses keadilan dan penyelesaian atas kasus mereka, tergambar selama audiensi berlangsung. Mereka menceritakan kronologis tindakan represif yang dialami kepada Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM RI, Beka Ulung Hapsara.
Dinda Nur Annisa Yura, Ketua Solidaritas Perempuan, menceritakan awal mula konflik lahan tersebut. “Kasus ini bermula dari proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu tahun 1982. Kemudian terdapat beberapa peristiwa pelanggaran baru, yaitu penggusuran yang sangat berdampak bagi warga di sana. Ini yang ingin kami sampaikan ke Komnas HAM”, jelas Dinda saat membuka audiensi.
Salah satu perwakilan masyarakat adat Pubabu mengisahkan, berbagai dugaan tindak kekerasan dan intimidasi telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah NTT, bersama aparat keamanan, baru-baru ini. Menurut keterangannya, hal tersebut dilakukan sebagai upaya penggusuran terhadap beberapa keluarga masyarakat adat Pubabu. Bagi masyarakat adat, tentu saja hal tersebut telah menimbulkan ketakutan dan trauma yang mendalam, terutama perempuan dan anak-anak.
“Tentunya kami mendukung setiap program yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi. Tetapi, kami juga membutuhkan adanya penyelesaian persoalan, sehingga kami minta supaya ada proses penyelesaian dan kejelasan status tanah yang ada”, ungkap perwakilan masyarakat lainnya. Menurutnya, untuk mencari solusi, warga telah berusaha melakukan dialog dengan Pemerintah Provinsi, namun tidak ada hasil kesepakatan dan kejelasan. Begitu pula dengan poin-poin rekomendasi yang pernah dikeluarkan oleh Komnas HAM sebelumnya, tidak dijalankan. Pemerintah dinilai telah melakukan tindakan pelanggaran HAM kepada masyarakat adat Pubabu.
Sesuai dengan kewenangan dan mandat yang dimiliki oleh Komnas HAM, Beka merespon bahwa akan ada upaya bersama, agar Pemprov NTT dapat memenuhi harapan masyarakat. “Kasus ini sebenarnya sudah pernah ditangani oleh Komnas HAM dan rekomendasinya juga sudah keluar, walaupun hal tersebut tidak diindahkan oleh Pemprov NTT”, terang Beka.
Bersama dengan Solidaritas Perempuan (SP) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), beberapa perwakilan dari masyarakat adat Pubabu melakukan audiensi secara daring dengan Komnas HAM RI, Jumat (07/08/2020). Suasana kesedihan, trauma dan harapan akan adanya proses keadilan dan penyelesaian atas kasus mereka, tergambar selama audiensi berlangsung. Mereka menceritakan kronologis tindakan represif yang dialami kepada Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM RI, Beka Ulung Hapsara.
Dinda Nur Annisa Yura, Ketua Solidaritas Perempuan, menceritakan awal mula konflik lahan tersebut. “Kasus ini bermula dari proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu tahun 1982. Kemudian terdapat beberapa peristiwa pelanggaran baru, yaitu penggusuran yang sangat berdampak bagi warga di sana. Ini yang ingin kami sampaikan ke Komnas HAM”, jelas Dinda saat membuka audiensi.
Salah satu perwakilan masyarakat adat Pubabu mengisahkan, berbagai dugaan tindak kekerasan dan intimidasi telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah NTT, bersama aparat keamanan, baru-baru ini. Menurut keterangannya, hal tersebut dilakukan sebagai upaya penggusuran terhadap beberapa keluarga masyarakat adat Pubabu. Bagi masyarakat adat, tentu saja hal tersebut telah menimbulkan ketakutan dan trauma yang mendalam, terutama perempuan dan anak-anak.
“Tentunya kami mendukung setiap program yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi. Tetapi, kami juga membutuhkan adanya penyelesaian persoalan, sehingga kami minta supaya ada proses penyelesaian dan kejelasan status tanah yang ada”, ungkap perwakilan masyarakat lainnya. Menurutnya, untuk mencari solusi, warga telah berusaha melakukan dialog dengan Pemerintah Provinsi, namun tidak ada hasil kesepakatan dan kejelasan. Begitu pula dengan poin-poin rekomendasi yang pernah dikeluarkan oleh Komnas HAM sebelumnya, tidak dijalankan. Pemerintah dinilai telah melakukan tindakan pelanggaran HAM kepada masyarakat adat Pubabu.
Sesuai dengan kewenangan dan mandat yang dimiliki oleh Komnas HAM, Beka merespon bahwa akan ada upaya bersama, agar Pemprov NTT dapat memenuhi harapan masyarakat. “Kasus ini sebenarnya sudah pernah ditangani oleh Komnas HAM dan rekomendasinya juga sudah keluar, walaupun hal tersebut tidak diindahkan oleh Pemprov NTT”, terang Beka.
Beka kemudian mengungkapkan bahwa Komnas HAM akan segera mengirimkan surat untuk meminta keterangan kepada Pemprov NTT dan kepolisian. Selain itu, juga meminta agar Pemprov NTT menghentikan segala aktivitas pembangunan yang mengancam keberlangsungan hidup warga, termasuk upaya ancaman, intimidasi serta penggusuran. Kepada masyarakat, Beka meminta untuk melengkapi berkas pengaduan terutama terkait bentuk ancaman, kekerasan, dan intimidasi yang mereka dapatkan. Menurut rencana, akan ada Konferensi Pers bersama dan investigasi langsung ke NTT dari Komnas HAM RI terkait kasus tersebut. (Niken/Ibn/RPS)
Short link