Jakarta – Kasus Wamena, Wasior, dan Pania, merupakan 3 (tiga) kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Papua. Komnas HAM sebagai penyelidik proyustisia dalam peristiwa pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan proyustisia atas ketiga kasus tersebut kepada Jaksa Agung. Namun, sampai saat ini, berkas dari kasus-kasus tersebut masih mondar-mandir dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung RI. Mandeknya penyelesaian dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat tersebut, melemahkan kepercayaan masyarakat Papua akan penegakan HAM di Indonesia, , ujar Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, John NR Gobay mengawali paparannya,.
”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua. Walaupun adanya dugaan politisasi, bila penyelesaian HAM yang berat tersebut tidak dapat diselesaikan secara nasional, kasus ini dapat diangkat di meja Internasional,” kata M. Choirul Anam selaku Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan dalam diskusi virtual yang dilaksanakan bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Kamis (18/06/2020).
Diskusi yang juga dihadiri oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Heri Setiyono, serta Direktur Sekertariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langowulyo, mengangkat tema “Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua”.
Menanggapi berkas yang dikembalikan kepada Komnas HAM, Setiyono menyampaikan, “Pengembalian berkas kasus-kasus tersebut dilakukan karena berkas penyelidikan yang diberikan Komnas HAM belum memenuhi seluruh unsur sebagai kasus pelanggaran HAM yang berat. Unsur yang dimaksud mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.”
Menurut John, perlu adanya undang-undang khusus bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM seperti penyelesaian kasus korupsi yang diwenangkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga Komnas HAM memiliki kewenangan dalam proses penyidikan pelanggaran HAM yang lebih mendalam.
Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM jelas bertindak atas dasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kelengkapan berkas pun telah Komnas HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung dan ini telah terjadi berulang kali. Komnas HAM memiliki keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam penyidikan proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh dalam penyidikan kasus Pelanggaran HAM yang Berat. Koordinasi dari kedua kembaga inilah yang dibutuhkan, untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua, Jelas Anam.
Menanggapi masukan dari beberapa narasumber, Yuliana mengatakan, “yang disampaikan oleh Kejagung dan Komnas HAM, terlihat hanya satu lembaga saja yang berupaya memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM, seharusnya ada koordinasi yang baik agar penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Papua dapat diselesaikan di tingkat Nasional.”
Menutup diskusi, Anam menyampaikan, “Komnas HAM dan Kejagung RI perlu berafiliasi dengan membuat tim Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat agar terjadi perspektif yang sama dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat".(Feri/LY/RPS)
”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua. Walaupun adanya dugaan politisasi, bila penyelesaian HAM yang berat tersebut tidak dapat diselesaikan secara nasional, kasus ini dapat diangkat di meja Internasional,” kata M. Choirul Anam selaku Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan dalam diskusi virtual yang dilaksanakan bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Kamis (18/06/2020).
Diskusi yang juga dihadiri oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Heri Setiyono, serta Direktur Sekertariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langowulyo, mengangkat tema “Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua”.
Menanggapi berkas yang dikembalikan kepada Komnas HAM, Setiyono menyampaikan, “Pengembalian berkas kasus-kasus tersebut dilakukan karena berkas penyelidikan yang diberikan Komnas HAM belum memenuhi seluruh unsur sebagai kasus pelanggaran HAM yang berat. Unsur yang dimaksud mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.”
Menurut John, perlu adanya undang-undang khusus bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM seperti penyelesaian kasus korupsi yang diwenangkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga Komnas HAM memiliki kewenangan dalam proses penyidikan pelanggaran HAM yang lebih mendalam.
Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM jelas bertindak atas dasar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kelengkapan berkas pun telah Komnas HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung dan ini telah terjadi berulang kali. Komnas HAM memiliki keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam penyidikan proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh dalam penyidikan kasus Pelanggaran HAM yang Berat. Koordinasi dari kedua kembaga inilah yang dibutuhkan, untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua, Jelas Anam.
Menanggapi masukan dari beberapa narasumber, Yuliana mengatakan, “yang disampaikan oleh Kejagung dan Komnas HAM, terlihat hanya satu lembaga saja yang berupaya memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM, seharusnya ada koordinasi yang baik agar penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Papua dapat diselesaikan di tingkat Nasional.”
Menutup diskusi, Anam menyampaikan, “Komnas HAM dan Kejagung RI perlu berafiliasi dengan membuat tim Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat agar terjadi perspektif yang sama dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat".(Feri/LY/RPS)
Short link