Kabar Latuharhary – Salah satu hal yang paling penting dalam konteks hak asasi manusia ketika membahas persoalan penodaan agama, syiar kebencian dan lain sebagainya ialah melihat aktor yang melakukannya dan dasar tindakannya jelas sebagai kejahatan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam, saat menjadi narasumber diskusi online “Laporan Pematauan Kasus Penodaan Agama Januari-Mei 2020” yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pada Selasa (9/6/2020).
“Penting untuk melihat siapa aktor di belakangnya, agar mengingatkan kita bahwa ketika berbicara mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan, penyelesaiannya tidak hanya melalui penegakkan hukum. Pendekatannya lebih baik dengan dialog atau pembelajaran untuk membangun toleransi,” ucap Anam.
“Di dalam standar norma yang dibuat oleh Komnas HAM, salah satunya membahas tindakan apa saja yang masuk dalam kategori intensi kejahatan, dan tindakan-tindakan yang intensinya bukan kejahatan. Sehingga, penyelesaian kasusnya tidak harus dengan pendekatan hukum. Dan, untuk mengukur intensi ini juga dapat dilihat dari seberapa sering aktor atau pelaku melakukan tindakan yang sama,” ujar Anam
Pada kesempatan ini, Anam juga membahas terkait Surat Edaran Kapolri (SE Kapolri) tahun 2015. Menurutnya, surat edaran tersebut dapat menjadi batu pijak untuk mengatur praktek-praktek kepolisian dalam penegakan hukum. “Penting untuk mengingatkan kembali, bahwa pendekatan persoalan keagamaan tidak bisa serta merta didekati dengan tindakan represif, filter pertamanya ada di SE Kapolri tahun 2015,” tegas Anam.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menyampaikan beberapa rekomendasi YLBHI. Pertama, pasal penodaan agama di KUHP, dan di Undang-undang Ormas harus dihapuskan. Rekomendasi kedua adalah untuk menghapus pasal 27 ayat 3, 28 ayat 2 dan 45 ayat 2 di UU ITE agar tidak multi tafsir, dan menjadi pasal yang mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan dan hak berekspresi lainnya.
“Tentunya kami juga tidak menutup mata bahwa ada ancaman untuk umat beragama terkait dengan agama atau keyakinan yang bersangkutan. Melalui pasal-pasal tersebut, negara bermaksud untuk melindungi umat beragama, maka yang diperlukan adalah membuat peraturan-peraturan baru terkait hate crime. Kejahatan yang didasarkan atas kebencian tertentu terhadap agama, ras, atau etnis,”pungkas Asfinawati. (Radhia/LY/RPS)
ilustration: frrepik
Short link