Jakarta – 22 tahun yang lalu tepatnya di Mei 1998 terjadi peristiwa yang menjadi catatan kelam dalam sejarah Bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut dikenal dengan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Peristiwa tersebut adalah peristiwa kerusuhan yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), bahkan terdapat kejahatan seksual terhadap perempuan. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota lain. Namun hingga saat ini peristiwa yang dinilai sebagai kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat Masa Lalu tersebut tidak kunjung terselesaikan.
Dalam rangka merawat ingatan akan Peristiwa Mei 98, Komnas Perempuan berkolaborasi dengan Komnas HAM, KontraS, Amnesty International dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKONI) menyelenggarakan Web Seminar (Webinar) dengan tema “22 Tahun: Memaknai Tragedi Mei 98”. Hadir dalam acara tersebut Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab, Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid dan Influencer Wanda Hamida. Webinar tersebut digelar pada Jumat (15/05/2020).
Christina Yulita, moderator diskusi, memaparkan terselenggaranya acara webinar sebagai upaya untuk menolak lupa peristiwa Mei 98 yang mengubah wajah Indonesia dengan berbagai macam kasusnya yang belum terselesaikan terutama kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menanggapi umpan dari Christina Yulita, Mariana Amiruddin mengungkapkan “kasus – kasus kekerasan terhadap perempuan banyak yang belum terungkap serta situasi perlindungan hukum yang tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual, terutama terhadap kasus perempuan-perempuan yang menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan dalam peristiwa Mei 98. Selain itu, peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum terselesaikan.”
Menanggapi apa yang diungkap oleh Mariana Amiruddin tersebut, Ilham, Mahasiswa peserta diskusi webinar menanyakan kepada Komnas HAM “ Apakah yang membuat Jaksa Agung menolak untuk melakukan pembuktian dari bukti-bukti pelanggaran HAM masa lalu dan apakah bukti tersebut kurang cukup untuk ditindak lanjuti?”.
Menjawab pertanyaan Ilham, Amiruddin Al-Rahab mengatakan “ Saya mengetahui persis kejadian pada saat itu karena saya tergabung dalam aktivis kemanusiaan. Dalam kasus tersebut, permasalahannya adalah pada pembuktian. Berbicara mengenai hukum pidana, perspektif bukti antara Jaksa Agung dan lembaga-lembaga lain itu berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya perspektif yang sama terhadap hal tersebut.”
Lebih lanjut, Amiruddin Al-Rahab menyampaikan “Komnas HAM setidaknya telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 15 dugaan Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu, termasuk Peristiwa Mei 1998. Bukti awal yang cukup yang merupakan hasil penyelidikan yang telah ditemukan oleh Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung sejak 2003, namun hingga kini berkas penyelidikan tersebut masih mondar mandir bagai bola pingpong. Hal ini tidak lain karena pengungkapan terhadap pelanggaran HAM, dilakukan oleh lebih dari satu lembaga Negara. Proses menjadi mandeg karena apa yang sudah diselesaikan oleh Komnas HAM tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung,”
Melanjutkan apa yang disampaikan Amiruddin Al-Rahab, Usman Hamid mengatakan “Perjuangan dalam mengungkapkan kasus Mei 1998 mengalami kemunduran. Hal tersebut hanya menjadi negosiasi “Elite”. Elite yang yang muncul setelah reformasi Mei 1998 dan elite Lama. Politisasi inilah yang membuat kasus-kasus tersebut tidak berkembang,“
Menutup diskusi Amiruddin Al-Rahab berharap “Indonesia perlu membiasakan diri untuk berfikir tajam dan kritis serta tidak mudah untuk terdoktrin maupun terprovokasi. Sehingga semangat untuk melakukan perjuangan tetap berkobar. Karena Hak Asasi Manusia di Indonesia sejatinya merupakan buah dari perjuangan bukan pemberian,” (Feri/LY)
Short link