Jakarta-Pandemi virus Corona (Covid-19) memengaruhi beberapa sektor pelayanan publik, salah satunya praktik mediasi kasus terkait hak asasi manusia.
"Selama pandemi Covid-19 ini, mediasi dalam bentuk konvensional (rapat bersama) sangat susah dilaksanakan," ungkap Komisioner Komnas HAM Munafrizal dalam Diskusi Online: “Implementasi Mediasi Online Pada Masa Pandemi Covid-19", Selasa (28/4/2020).
Akibat kondisi tak memungkinkan bertatap muka, Munafrizal menyampaikan tiga opsi pelaksanaan mediasi kasus. Pertama, melakukan moratorium dengan menghentikan sementara praktik mediasi. Akan tetapi, opsi ini bakal menyebabkan kegiatan mediasi mati suri. Terlebih lagi, katanya, dalam kenyataan sosial sengketa akan tetap terjadi, baik sebelum dan sesudah Covid-19.
Kedua, menjalankan fungsi mediasi secara konvensional, tetapi menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) ketika mediasi dilakukan. Namun, jika dilaksanakan akan menimbulkan risiko terpapar Covid-19.
Opsi ketiga, mediator tetap menjalankan tugasnya, tetapi menggunakan platform online. Pilihan ini, dinilai Munafrizal paling realistis jika disertai dengan daya dukung memadai.
"Covid-19 ini adalah momentum untuk menelaah secara serius mediasi online ini yang sangat berpeluang untuk dipopulerkan. Perkembangan IT mendorong para mediator untuk memanfaatkan platform online, tapi belum mainstream meskipun sudah ada yang memulai. Kondisi ini mempertegas bahwa mediasi online ini semakin nyata digunakan agar mediasi tetap berjalan," kata Munafrizal.
Keberlangsungan fungsi mediasi sesuai dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Sebagai pelaksana mandat tersebut,
Komnas HAM, menurut Munafrizal, belum memiliki pengalaman dan infrastruktur yang memadai untuk melakukan mediasi online.
"Opsi ini (online) yang harus diambil agar mediasi HAM bisa tetap dilaksanakan, kalau tidak, yang bisa dilakukan hanya korespondensi surat menyurat mediasi bersama," ujar Munafrizal dengan tegas.
Mekanisme mediasi online Komnas HAM ternyata sudah pernah dibahas sebelum Covid-19 melanda. Diskusinya berlangsung sekira bulan Oktober 2019 dengan melakukan rumusan berbasis pada dasar hukum mediasi jarak jauh dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, pasal 5 ayat 3.
Menanggapi hal tersebut, tiga narasumber lainnya memberikan ide serta saran penyelenggaraan mediasi online.
Hakim Mediator Diah Sulastri Dewi menekankan bahwa pada mediasi online harus menggunakan kalimat yang efektif, singkat dan jelas, serta tetap menjaga prinsip-prinsip kerahasiaan. Selain itu, penting dipastikan orang yang ikut dalam mediasi adalah orang yang benar (ada surat kuasa) ketika tahap pra mediasi.
Mediator Fahmi Sahab menyebutkan beberapa poin positif pelaksanaan mediasi online, yaitu lebih mudah membuat agenda-agenda pertemuan, tekanan kepada proses berkurang, terciptanya zona yang aman bagi beberapa pihak, lebih mungkin untuk termitigasi, imbalance of power hadirin akan lebih percaya diri untuk mengikuti proses mediasi, dan lainnya.
Sementara, mediator Indra Bastian memberikan perspektif pelaksanaan mediasi online di dunia swasta. Disebutkan bahwa selama ini, perusahaan di Indonesia telah melaksanakan mediasi online dan bertemu hanya untuk tanda tangan para pihak.
Berdasarkan pengalamannya, dibutuhkan 40 menit durasi waktu bicara dengan seseorang untuk mengetahui keseriusan dan konsistensinya. Selain itu, pelatihan mediator juga bisa dilakukan secara online.(SP/IW).
Short link