Jakarta - Menghadapi kebuntuan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM yang Berat di masa lalu Komnas HAM dengan fungsi Pengkajian dan Penelitian mulai mengkaji lebih dalam standar minimal pengaturan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Komisioner sub komisi pengkajian dan peneltian, Chairul Anam bersama staf Bagian dukungan Pengkajian dan Penelitian mengawali Kajian KKR dengan Workshop Riset Desain di Hotel Oria, Jakarta pada Kamis (12/03/2020).
Indonesia pada masa awal reformasi telah memiliki Undang –undang nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 undang – undang tersebut dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pasal 27 disebutkan, korban berhak mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi apabila pengampunan atau amnesti dikabulkan. Hal ini dirasakan sangat memberatkan korban pelanggaran HAM berat karena bukan bentuk keadilan yang berperspektif kemanusiaan.
Pada 2019 yang lalu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md telah mendukung RUU KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Sejalan dengan Menko Polhukam, Komnas HAM perlu melakukan riset lebih mendalam untuk menentukan posisi politik Komnas HAM karena Komnas HAM terlibat dalam proses ini dan telah memiliki kertas posisi terkait KKR,” ungkap Anam. Diharapkan dengan adanya peran Komnas HAM dalam KKR, RUU KKR bukan lagi hanya sekedar wacana. Sehingga menjadi salah satu tools penyelesaian kasus HAM masa lalu.
Perlu diketahui RUU KKR sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020. KKR merupakan sebuah komisi yang bertugas untuk menemukan dan mengungkap fakta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh suatu pemerintahan, dengan harapan menyelesaikan konflik yang tertinggal dari masa lalu. (Feri/Ibn)
Short link