Kabar Latuharhary – Subkomisi Pemajuan HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM menggelar workshop riset desain penelitian di Hotel Oria Jakarta, Kamis-Jum’at (12-13/03/2020). Workshop yang dihadiri oleh Komisioner Pengkajian dan penelitian, Muhammad Choirul Anam dan beberapa pakar dan akademisi ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari masing-masing bidang dalam rangka menyusun rencana kerja penelitian baik dari segi metode, jangka waktu, lokasi penelitian, jenis data, dan sistematika penulisan.
Pada tahun 2020 Sub komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM memiliki lima tema pengkajian dan penelitian. Salah satu yang dibahas dalam workshop tersebut kajian terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (PSDN) yang ditetapkan pada 24 Oktober 2019 lalu.
Okta Rina Fitri, Analis Perlindungan Hak-Hak Sipil dan HAM Komnas HAM menyampaikan dalam workshop bahwa terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi penulisan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara yang kemudian disingkat sebagai UU PSDN.
“UU PSDN merupakan gabungan dari beberapa RUU tentang Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan RUU Komponen Pendukung Pertahanan Negara dimana dalam pembahasannya kurang melibatkan publik yang tentu saja menuai kritik dari masyarakat sipil dan akademisi. Menurut catatan Imparsial ruang lingkup pengaturan UU PSDN terlalu luas, tidak mengadopsi prinsip dan norma HAM secara penuh serta prinsip kesukarelaan juga dikesampingkan. Beberapa hal tersebut yang akhirnya menjadi latar belakang kenapa perlu dilakukan kajian terhadap UU PSDN ini,” jelas Okta.
Lebih lanjut, Okta menyampaikan bahwa Komnas HAM sendiri pernah mengeluarkan beberapa Position Paper terkait RUU Keamanan Nasional dan RUU Komponen Cadangan yang secara garis besar menyatakan hal serupa yaitu beberapa definisi dirumuskan terlalu luas serta belum mengatur dengan cermat mengenai pembatasan HAM dalam keadaan darurat. Selain itu juga kewenangan dari Dewan Keamanan Nasional yang terlalu besar.
Direktur Imparsial, Al Araf yang hadir sebagai narasumber dalam workshop tersebut terlebih dahulu memaparkan mengenai komponen global. “Dari aspek dinamika global, terjadi pergeseran konsep keamanan pasca perang dingin, yaitu pergeseran paham State Security menjadi Human Security. Preferensi objek ancaman bukan lagi state, melainkan manusia. Dengan paradigma Human Security ini, isu perang bukan lagi menjadi preferensi ancaman, melainkan isu-isu yang sifatnya demokratisasi, HAM, dan lain-lain. Selain itu juga ada pergeseran dalam pendekatan penyelesaian konflik antar negara. Paradigma Realisme yang menggunakan perang dalam menghadapi konflik kini bergeser pada paradigma Liberalisme dan Konstruktivisme. Kini pendekatan konflik antar negara dilakukan melalui diplomasi atau melalui mekanisme peradilan internasional,” paparnya.
Araf kemudian menjelaskan bagaimana proses UU PDSN dibentuk. “UU PSDN dibuat dengan cepat dan ada kesan ketertutupan, ada cacat formil yang mana minim keterlibatan publik dalam penyusunannya, serta RUU mengatur tentang komponen cadangan, bela negara, komponen pendukung dan mobilisasi/demobilisasi yang seharusnya masing-masing pengaturannya dipisahkan dalam peraturan tersendiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Araf menambahkan terkait munculnya komponen pasukan cadangan sebagaimana yang sudah tertulis dalam UU adalah mengabaikan prinsip kesukarelaan. “Penerapan prinsip kesukarelaan hanya saat pendaftaran. Setelah menjadi anggota komponen cadangan, prinisp ini kemudian diabaikan karena adanya ancaman pidana jika menolak panggilan mobilisasi. Selain itu komponen cadangan saat ini sudah tidak relevan karena pergeseran pola perang yang lebih melibatkan kemajuan teknologi dibandingkan menambah sumber daya manusia,” lanjutnya.
Dalam penulisan riset desain terkait UU PSDN ini, Komnas HAM mengadopsi beberapa kajian terkait komponen cadangan serta pertahanan Negara. Dalam hal kerangka konsep penulisan kajian, riset desain ini menggunakan instrumen International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Siracusa Principles.
Sebelum diskusi ditutup, Araf menanggapi pertanyaan peserta terkait langkah Komnas HAM dalam menolak Undang-Undang tersebut. “Komnas HAM bisa melakukan Judicial Review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, membatasi ruang lingkupnya, menyisir dimana saja pasal-pasal yang sekiranya melanggar hak konstitusional warga, mengkaji terkait punishment dan melakukan legislative review,” tegasnya. (Utari/ Okta Rina/Ibn)
Short link