Jakarta-Permasalahan kepemilikan rumah negara sebagai barang milik negara (BMN) menjadi salah satu jenis aduan yang dialamatkan ke Komnas HAM RI. Tidak cukup melalui metode penyelesaian mediasi, lembaga negara mandiri ini menggandeng stakeholders terkait untuk mempercepat penanganannya.
Komisioner Mediasi Komnas HAM RI Hairansyah mencermati banyak aspek hak asasi manusia yang diduga dilanggar ketika dilakukan penertiban sengketa aset negara. "Ada 15 kasus yang ditangani oleh Subkomisi Mediasi terkait sengketa rumah negara atau barang milik negara yang diduga melanggar aspek hak asasi manusia," ujarnya dalam diskusi online-offline bertajuk "Konsultasi Nasional Upaya Penyelesaian Sengketa HAM terkait Permasalahan Rumah Negara Sebagai Barang Milik Negara Melalui Fungsi Mediasi HAM, Senin (30/11/2020).
Aspek HAM yang dilanggar, di antaranya hak atas informasi (regulasi tidak tersosialisasikan dengan baik, pencatatan, dan status rumah negara); hak atas kepemilikan (perlakukan berbeda terhadap penghuni rumah dinas); hak atas kesejahteraan (hilangnya rumah tinggal tanpa ada penggantian); hak atas ekosob; hak atas properti (penghuni rumah negara sudah lama menempati tanpa ada pembiayaan negara seperti listrik, air, PBB, serta untuk perbaikan dan renovasi); dan hak atas keadilan (upaya penyelesaian terkendala karena tidak ada prinsip yang jelas).
Tipologi kasus meliputi belum tertatanya pencatatan status golongan rumah negara sebagai BMN, ada perlakuan berbeda terhadap penghuni dalam memiliki rumah negara, serta pembiaran yang cukup lama terhadap penghuni. Sedangkan pihak yang paling banyak diadukan antara lain: Pemerintah Pusat, Pemda, TNI, dan BUMN/BUMD.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik di kesempatan yang sama mengakui, penyelesaian permasalahan melalui mediasi HAM tidak mudah. Lantaran para pihak mempunyai kepentingan berbeda dan terikat dengan regulasi atau ketentuan hukum yang berlaku.
“Penyelesaian mediasi tidak selalu dapat memuaskan Para Pihak. Hal yang menjadi concern Komnas HAM adalah terjadinya tindak kekerasan,” ujar Taufan.
Penyelesaian masalah melalui mekanisme mediasi justru menuai apresiasi dari komisi hak asasi manusia dari negara lain. Komnas HAM RI pun menjadi tempat pembelajaran tentang fungsi mediasi HAM. Kelebihan inilah yang coba didiskusikan bersama stakeholders terkait, yakni Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk dikembangkan.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas Prahesti Pandanwangi memandang permasalahan rumah negara terkait hak atas perumahan dan pemukiman. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 28H UUD 1945 dan target RPJMN sampai 2024, yaitu 70% memenuhi hunian layak dan 905 sanitasi layak. Tak hanya itu, ia juga mengaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Tujuan ke-1 pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, Tujuan ke-6 mengenai air dan sanitasi dan Tujuan ke-16 mengakses mekanisme penyelesaian perselisihan dan jenis penyelesaian.
Hesti juga mengingatkan ihwal peran Komnas HAM dalam penyelesaian permasalahan sengketa rumah negara, yakni mengawal implementasi HAM di Indonesia, memberikan rekomendasi terhadap Pemerintah RI dan DPR RI, dan memberikan standar norma terhadap pelaksanaan HAM.
“Aturan atau tata kelola tentang BMN sudah jelas, namun implementasinya berbeda. Pendampingan dan advokasi dari Komnas HAM tetap diperlukan, terutama terkait penertiban atau penggusuran. Untuk penggunaan rumah negara kedepan harus ada satu data sehingga setiap orang mengetahui hak dan kewajibannya, dan prosesnya perlu diperjelas,” ujar Hesti.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Encep Sudarwan ikut mengungkap bahwa permasalahan yang sering timbul dalam sengketa rumah negara atau BMN terkait pengawasan dan pengendalian.
“DJKN telah melakukan evaluasi terhadap aset terutama rumah negara pada 2020. Jumlah ASN 963.000, sementara jumlah rumah negara 171.000. Ada Badan Percepatan Penyelenggaran Perumahan – sedang digarap. Jumlah terbatas sehingga perlu pengawasan dan pengendalian. Banyak masalah rumah negara di penggunaan,” ujar Encep.
Menilik kondisi terkini, pihaknya pun mendukung tawaran upaya penyelesaian oleh Komnas HAM dengan penyelesaian yang mengutamakan HAM. Dari sisi K/L diharapkan melakukan pengawasan dan pengendalian beserta penyempurnaan sosialisasi penggunan rumah dinas.
Sementara itu, Kabag Umum Sesditjen Perbendaharaan Kemenkeu Yuni Wibawa menyampaikan bahwa rumah negara tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan oleh PNS selama belum pensiun. Ditjen Perbendaharaan melakukan pendataan terhadap rumah negara, masih terdapat kekurangan 307 unit dan masih dikuasai yang tidak berhak 555 unit.
"Pada saat PNS pensiun harus menyerahkan rumah dinas, jika tidak menyerahkan, maka gaji pensiun tidak akan diproses. Saat ini pengunaan rumah dinas sudah tertib. Apabila rumah dinas disewakan kepada pihak yang tidak berhak, maka dapat ditarik oleh K/L,” ungkap Yuni.
Akademisi Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman ikut mengkritisi dari segi hukum. “Penyelesaian melalui mediasi menjadi tantangan, karena penyelesaian melalui pengadilan berbuah formalisme,” ujarnya.
Ia mengusulkan untuk membentuk roadmap penyelesaian untuk kasus-kasus yang sudah masuk atau tengah ditangani disertai tahapan dan metode penyelesaian serta pelibatan K/L terkait, dan landasan hukum. Landasan prinsip dalam penyelesaian harus ada kejelasan yang tujuannya untuk pemenuhan hak atas rumah layak.
Diskusi ini turut diikuti oleh Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan dan Komisioner Sandra Moniaga. Dari eksternal hadir Kepala Subdirektorat Barang Milik Negara III Kemenkeu Bambang Sulistyono, dan perwakilan K/L, CSO, serta OPD yang hadir secara daring melalui zoom meeting.
Beberapa hal yang turut menjadi catatan dalam diskusi, yakni penyediaan rumah yang layak untuk kesejahteraan ASN, TNI, dan Polri, upaya penyelesaian sudah sesuai SOP dan berperspektif HAM, pembatasan pemberian izin penempatan rumah negara, aset negara tidak boleh dilepas, tidak ada ganti rugi, serta langkah mediasi yang memungkinkan untuk status yang belum BMN.(AAP/IW)
Short link