Banjarmasin- Perhelatan Festival HAM 2020 merupakan salah satu bentuk komitmen Komnas HAM dalam penyebaran nilai-nilai HAM di Indonesia. Pendampingan terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai HAM menjadi sebuah pesan yang digaungkan.
Sebagai refleksi atas upaya implementasi HAM tersebut, Kota Banjarmasin sebagai tuan rumah festival tahun ini mendapat apresiasi atas implementasi prinsip HAM dalam pembangunan daerahnya.
"Kita patut berbangga dengan Banjarmasin karena menjadi salah satu kota yang komitmennya kuat utk membangun kota inklusi, Komnas HAM belajar bagaimana khususnya kota inklusif dari Banjarmasin. Kota ini menjadi salah satu kota yang mencoba membangun HAM sebagai standarnya atau kerangka kerja pemerintah," tutur Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di awal paparannya dalam webinar "Pembangunan Daerah yang Berbasis HAM Melalui Perwujudan Kota/Kabupaten Inklusi" di Kantor Pemerintah Kota Banjarmasin, Kamis (17/12/2020)
Selama 20 tahun terakhir, Beka mencermati munculnya kesadaran bahwa kota dapat menjadi pusat perubahan dan disinilah momen kota berbasis HAM menjadi dasar perhelatan Festival HAM di kota-kota Indonesia sejak 2014 lalu.
Pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM ditorehkan dalam Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 24/2 tanggal 26 September 2013, Nomor 27/4 tanggal 25 September 2014 dan Nomor 33/8 tanggal 29 September 2016. Substansinya mengakui peran pemerintah daerah dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Berdasarkan Resolusi tersebut, Komnas HAM memainkan peran penting untuk menyemai semangat penerapan pembangunan daerah berbasis HAM.
"Banjarmasin harus mempunyai tools untuk menganalisis hambatan,tantangan, dan hal terkait dalam penerapan HAM. Demikian halnya dalam pengambilan keputusan harus berdasarkan standar HAM," sebut Beka.
Ia juga mengingatkan, peran Pemda harus dioptimalkan untuk mencegah potensi pelanggaran HAM. Lantaran Komnas HAM masih menerima aduan tentang Pemda, terutama terkair aset daerah, ketenagakerjaan hingga Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
"Banyak Pemda ketika melakukan perencanaan memakai standar HAM, tetapi ketika audit sering dilupakan," ulas Beka.
Selain tata kelola daerah yang tidak berbasis HAM, penyebab Pemda paling banyak dilaporkan adalah lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan dan minoritas, seperti dalam pengakuan hak masyarakat adat, kebebasan beragama dan berkeyakiban, disabilitas, dan lain-lain.
Adapun pencanangan kota HAM di Indonesia menurut Komnas HAM adalah berdasarkan beberapa hal. Antara lain Hak Atas Kota, Inklusi Sosial, Keberlanjutan, Non Diskriminatif, Solidaritas, Keadilan Sosial, Akuntabilitas, Keragaman Budaya, Demokrasi Partisipatoris, serta Keberpihakan kepada Kelompok Rentan.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas disebutkan bahwa telah banyak kota-kota di Indonesia yang mengimplementasikan nilai-nilai HAM yang baik. Contohnya, Kota Wonosobo yang memiiliki Perda dan Komisi Daerah (Komda) HAM yang berperan dalam meneruskan masalah-masalah HAM masyarakat ke pihak terkait. Sama halnya juga dengan contoh baik Kota Banjarmasin yang bahkan telah enam kali mendapatkan penghargaan sebagai Kota HAM dari Kemenkum HAM.
“Kota HAM ini tidak menegasikan isu-isu HAM. Meski dicanangkan sebagai kota ramah HAM sekaligus tuan rumah Festival HAM tahun ini, pemerintah daerah (termasuk Banjarmasin) juga harus tetap memiliki komitmen yang berkelanjutan dalam penerapan nilai-nilai HAM. Seringkali ketika pemimpin daerah berganti maka akselerasinya juga berubah,” tutup Beka.
Diskusi yang merupakan Rangkaian Festival HAM 2020 juga menghadirkan pembicara lainnya, yaitu Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Abdul Halim Barkatullah, Kepala Bagian Hukum Setda Kota Banjarmasin Lukman Fadlun serta Program Manager Kaki Kota Foundation Fitra Eka Ramdhini. (SP/IW)
Short link