Banjarmasin - Rencana pemindahan ibu kota negara Republik Indonesia ke Provinsi Kalimantan Timur tepatnya di Kabupaten Penajam Pasar Utara dan di Kabupaten Kutai Kartanegara kembali menjadi bahasan hangat. Lantaran terdapat beberapa hal yang berpotensi menimbulkan permasalahan terkait hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menyampaikan pihaknya telah menerima banyak pengaduan. "Komnas HAM menerima banyak sekali pengaduan masyarakat," ucap Taufan dalam Diskusi Terfokus online bertema "Peran Mediasi Komnas HAM RI atas Potensi Permasalahan-Permasalahan yang mungkin terjadi sebagai Dampak Pemindahan Ibu Kota Negara" di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Rabu (16/12/2020).
Sebagai pusat pergerakan sosial masyarakat, ia menilai, perpindahan ibu kota negara harus mempunyai aspek-aspek yang menguntungkan bagi masyarakat Indonesia. Beberapa pertimbangan penting lainnya seperti pemilihan lokasi, potensi bencana alam, kebakaran hutan, gunung berapi dan tanah longsor turut diperhatikan.
Lokasi yang strategis harus menjadi pilihan utama, yaitu berada di pusat geografis Indonesia; berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang seperti Balikpapan dan Samarinda. Selain itu, daerah tersebut memiliki infrastruktur yang relatif lengkap serta telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintahan seluas 180 ribu hektar.
Dalam kesempatan tersebut, Taufan menegaskan bahwa pemerintah harus mengutamakan aspek hak asasi manusia dalam menentukan kebijakan yang akan diambil. Taufan mengingatkan agar dalam setiap proses pembangunan tidak terjadi kekerasan atau bentrok antar warga dan aparat hukum.
Ia juga meminta agar pemerintah memerhatikan dampak ekologis dari pembangunan tersebut. Pasalnya, dampak ekologis jika terjadinya kerusakan ekologis akan berdampak pada kerusakan-kerusakan sumber alam.
Pertimbangan-pertimbangan tadi, menurutnya perlu sangat diperhatikan karena merujuk laporan konflik agraria Komnas HAM periode 2013-2019 yang mencatat 407 konflik di 33 provinsi di Indonesia. Sektor tertinggi pemicu konflik, yakni di perkebunan (92 kasus), infrastruktur dan pemanfaatan Barang Milik Negara/BMN (41), Pertambangan (38), Kehutanan (30), dan lingkungan (10).
Minimnya pengakuan hak entitas masyarakat adat, diskriminasi hukum, pengambilan lahan secara sewenang-wenang juga menjadi pemicu konflik lainnya. Taufan berharap agar kedepannya, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia merata dari Sumatera hingga Papua. (AM/IW)
Short link