Jakarta – Peristiwa 1965 menjadi salah satu catatan hitam Indonesia. Di tahun tersebut, banyak warga mengalami kekerasan, baik dari militer maupun unsur sipil yang disponsori oleh militer. Peristiwa ini diawali dengan penculikan dan pembunuhan para Jendral pada 30 September 1965 (G30S). Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding keras menjadi pelaku penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa tersebut.
”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-1966. Penyelidikan ini sesuai mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada Rabu (30/09/2020).
Diskusi virtual ini juga dihadiri oleh Dosen FISIP UPN Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (DPM FH-UN), Adesya Patulak. Diskusi ini mengangkat tema “Kejahatan HAM 1965-1966: Mengurai Akar Otoritarianisme Orde Baru”.
Jendral Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menuduh PKI mendalangi G30S. Kemudian Soeharto menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan PKI. Pembantaian ramai dilakukan terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, ujar Ades mengawali diskusi.
Ia melanjutkan, selama proses pembantaian tersebut, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Hal ini diungkapkan melalui laporan dari korban dan keluarga korban peristiwa 1965-1966. Polanya antara lain, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa.
Ayu mengungkapkan bahwa sampai hari ini para korban maupun keluarga korban masih mengalami penderitaan mental secara turun temurun. Diskriminasi sistematis telah dikukuhkan sejak zaman Orde Baru. Hak mereka dibatasi baik di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Anam menyampaikan bahwa Komnas HAM melalui Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa 1965-1966 telah menyelesaikan penyelidikan pro-yustisia. Peristiwa tersebut diputuskan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Unsur berskala luas (widespreed) dan sistematis (systematic) ditemukan dalam peristiwa ini.
Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM jelas bertindak atas dasar Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) . Kelengkapan berkas pun telah Komnas HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung. Komnas HAM memiliki keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam penyidikan proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh dalam penyidikan kasus Pelanggaran HAM yang Berat, jelas Anam.
Menutup diskusi, Anam menyampaikan bahwa dalam menjalankan mandatnya, Tim ad hoc telah menerima pengaduan dari masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke lapangan dalam melaksanakan penyelidikan. “Komnas HAM akan terus berupaya dalam penyelelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk peristiwa 1965-1966 dengan data dukung yang telah dikumpulkan sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepada Komnas HAM”, pungkas Anam. (Feri/LY)
”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-1966. Penyelidikan ini sesuai mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada Rabu (30/09/2020).
Diskusi virtual ini juga dihadiri oleh Dosen FISIP UPN Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (DPM FH-UN), Adesya Patulak. Diskusi ini mengangkat tema “Kejahatan HAM 1965-1966: Mengurai Akar Otoritarianisme Orde Baru”.
Jendral Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menuduh PKI mendalangi G30S. Kemudian Soeharto menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan PKI. Pembantaian ramai dilakukan terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, ujar Ades mengawali diskusi.
Ia melanjutkan, selama proses pembantaian tersebut, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Hal ini diungkapkan melalui laporan dari korban dan keluarga korban peristiwa 1965-1966. Polanya antara lain, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa.
Ayu mengungkapkan bahwa sampai hari ini para korban maupun keluarga korban masih mengalami penderitaan mental secara turun temurun. Diskriminasi sistematis telah dikukuhkan sejak zaman Orde Baru. Hak mereka dibatasi baik di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Anam menyampaikan bahwa Komnas HAM melalui Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa 1965-1966 telah menyelesaikan penyelidikan pro-yustisia. Peristiwa tersebut diputuskan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Unsur berskala luas (widespreed) dan sistematis (systematic) ditemukan dalam peristiwa ini.
Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM jelas bertindak atas dasar Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) . Kelengkapan berkas pun telah Komnas HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung. Komnas HAM memiliki keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam penyidikan proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh dalam penyidikan kasus Pelanggaran HAM yang Berat, jelas Anam.
Menutup diskusi, Anam menyampaikan bahwa dalam menjalankan mandatnya, Tim ad hoc telah menerima pengaduan dari masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke lapangan dalam melaksanakan penyelidikan. “Komnas HAM akan terus berupaya dalam penyelelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk peristiwa 1965-1966 dengan data dukung yang telah dikumpulkan sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepada Komnas HAM”, pungkas Anam. (Feri/LY)
Short link