Jakarta-Komnas HAM RI bersama Danish Institute for Human Rights (DIHR) menyelenggarakan Webinar Regional Asia Pasifik bertemakan “on How NHRIs Work with the 2030 Agenda” selama dua hari (28-29/9/2020). Partisipan dari enam negara turut berbagi pengalaman dalam upaya pemantauan dan pelaporan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) dalam webinar ini.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik membuka webinar dan mengapresiasi sekira 55 peserta yang antusias mengikuti pertemuan virtual berdurasi 90 menit ini. Ketua Tim SDGs Komnas HAM Sandrayati Moniaga dan Koordinator Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mimin Dwi Hartono turut aktif menjadi peserta serta moderator webinar.
Webinar ini menjadi tindak lanjut dari kuesioner survei SDGs EU Project pada awal 2020. Para responden terdiri atas perwakilan dari 18 NHRI (National Human Rights Institutions) se-Asia Pasifik.
Beberapa di antaranya kemudian dipilih untuk berbagi strategi dan kiatnya dalam mengawal pelaksanaan implementasi SDGs terkait pemenuhan hak asasi manusia. Perwakilan NHRI tersebut, yakni The Australian Human Rights Commission, National Human Rights Commission of Mongolia, dan Commission on the Human Rights of the Philippines.
Komnas HAM memaparkan telah melakukan strategi pendekatan terhadap berbagai lembaga pemerintah, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sebagai leading sector implementasi SDGs di Indonesia bersama Sekretariat Nasional SDGs.
“Secara kontekstual, strategi tersebut dilakukan untuk memajukan peran Komnas HAM dalam SDGs sesuai Deklarasi Merida,” ujar Taufan menegaskan dalam webinar hari pertama yang mendiskusikan “NHRIs’ engagement in SDG monitoring and reporting”.
Komnas HAM dan Seknas SDGs juga mencoba bersepakat dalam sebuah konsensus untuk mengintegrasikan indikator-indikator utama analisa pengukuran efektivitas tata kelola hak asasi manusia mengacu pada Sasaran Nomor 16 SDGs. Realisasinya, pada 2017, Komnas HAM juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) pertama tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Business and Human Rights/BHR).
“Itu adalah NAP pertama yang diproduksi di kawasan Asia Tenggara,” terang Taufan.
Integrasi antara SDGs dan BHR, menurutnya, benar-benar dibutuhkan. Lantaran dinamika sosial dan ekonomi setiap negara membutuhkan komitmen pemerintah untuk bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dasar dan hak atas pengelolaan lingkungan hidup secara berkeadilan serta sejalan dengan semangat SDGs.
Hal tersebut ditegaskan oleh Taufan dalam webinar hari kedua yang mengangkat subtema “Using the 2030 Agenda as leverage for promoting responsible business conduct”.
Berdasarkan data pengaduan masyarakat ke Komnas HAM periode 2015-2019, terdapat 2.813 laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Jumlah tersebut menempatkannya sebagai klasifikasi pengaduan peringkat dalam dugaan tindak pelanggaran hak asasi manusia.
Korporasi yang terlibat dalam pelanggaran HAM terdiri dari sektor perkebunan, kehutanan, perikanan, infrastruktur, dan manufaktur. “Dalam konteks pelaksanaan pemerintahan Indonesia, regulasi dan kebijakannya tumpang tindih. Namun, implementasi dan penegakan hukumnya sangat lemah dan tidak konsisten,” ujar Taufan.
Seperti halnya kontraversi yang terjadi dalam proses RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Tujuan peraturan tersebut, ujar Taufan, menarik investor dan memberikan kemudahan berbisnis, namun berpotensi melipatgandakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Komnas HAM pun telah merekomendasikan kepada Presiden RI dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU tersebut karena risiko pelaksanaannya bagi penegakan prinsip HAM sangat serius dan kompleks.
Selain Komnas HAM, perwakilan NHRI lainnya turut membagi prosesnya dalam monitoring dan pelaporan implementasi SDGs. National Human Rights Commission of Mongolia memaparkan fokus untuk memantau implementasi hukum di negaranya terhadap kesetaraan gender yang mengacu ke Tujuan SDGs Nomor 5. Mereka berinisiatif menyosialisasikannya melalui stasiun televisi sebagai saluran komunikasi publik serta menggandeng kantor pusat statistik nasional untuk mengelaborasikan data implementasi pelaksaanan SDGs di setiap kantor pemerintahan.
Commission on the Human Rights of the Philippines memaparkan, kerja institusinya sangat berkaitan dengan upaya mewujudkan agenda SDGs tahun 2030 (2030 Agenda) di tengah transisi ekonomi berbasis rendah karbon. Intinya, mengarah pada pengembangan kebijakan dan perangkat bisnis baru, seperti peningkatan risiko terkait iklim, pengukuran dampak, insentif bagi anggota dewan yang terkait dengan pengurangan emisi karbon, dan keterlibatan yang ditargetkan dengan pemasok.
Dalam sesi penutupan webinar, Taufan turut menyisipkan pesan tentang pentingnya peran NHRI dalam sebuah aksi nyata mewujudkan 2030 Agenda. Intinya, mengajak pengambil kebijakan untuk mengambil tindakan bagi manusia, planet, kemakmuran, perdamaian, dan kemitraan. Seluruh bagian tadi, menurutnya, saling berhubungan dan perlu diintegrasikan ke dalam pembuatan kebijakan praktis, baik secara nasional maupun internasional.
“Dunia menghadapi banyak tantangan besar, termasuk kerawanan pangan, akses terbatas ke pendidikan, layanan kesehatan yang tidak memadai, kesenjangan gender, perubahan iklim, dan lautan yang semakin tercemar. 2030 Agenda seharusnya menyatukan dunia untuk memerangi kemiskinan dalam segala bentuknya. Komitmen untuk 'tidak meninggalkan siapa pun' merupakan inti dari kemanusiaan kita,” urai Taufan.
Ia berharap NHRI se-Asia Pasifik dapat melakukan aksi nyata di tengah upaya melahirkan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan di masing-masing negara. (IW)
Short link