Kabar Latuharhary – Memberikan dukungan melalui media sosial di masa kampanye merupakan bentuk pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Badan Pegawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyebutkan bahwa netralitas ASN adalah jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan oleh ASN di masa Pemilu. ASN seharusnya memiliki sikap profesional, bersih, netral, kompeten, netral dan berintegritas.
“Hasil pemantauan Komnas HAM dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, media sosial menjadi media kampanye yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan praktik ujaran kebencian. Diharapkan dengan mengetahui hal ini, ASN lebih bijak dalam menggunakan media sosialnya, sehingga dapat bersikap netral,” kata Hairansyah, Komisioner Komnas HAM RI, saat menjadi narasumber dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Badan Pegawas Pemilihan Umum Jawa Timur (Bawaslu Jatim), Rabu (16/09/2020).
Webinar ini juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KSN), Arie Budhiman dan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Juniarto. Webinar ini mengangkat tema “Peningkatan Kapasitas Pengawas Pemilu dalam Pengawasan Media Sosial”.
Arie mengungkapkan bahwa kampanye/sosialisasi di media sosial merupakan pelanggaran netralitas tertinggi yang dilakukan oleh ASN. Banyak modus pelanggaran yang dapat dilakukan oleh ASN melalui media sosial. Beberapa modus tersebut diantaranya adalah mengunggah dan membagikan konten/tautan (status, foto, dan video) dari calon ataupun Partai Politik (Parpol) tertentu.
“Memberikan komentar/like secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengandung unsur ujaran kebencian maupun berita bohong (Hoax) juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran netralitas,” ujar Arie.
Hairansyah mengatakan bahwa banyak isu ujaran kebencian yang dapat dibagikan melalui media sosial. Ujaran Kebencian yang banyak disebar adalah isu-isu diskriminasi berbasis Suku, Agama, Ras dan Etnis (SARA). Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Kesetaraan dan non diskriminasi merupakan bagian dari prinsip HAM.
Ia melanjutkan bahwa selain isu SARA, Hoax atau berita bohong merupakan kasus yang banyak ditemui di media sosial saat pemilihan umum. Hal ini didapatkan dari hasil pemantauan Pilkada 2018 yang dilakukan oleh Komnas HAM.
Sejalan dengan Hairansyah, Eko mengatakan bahwa hoax di dalam pemilu akan terus menjadi momok. Hal ini karena beberapa hal, diantaranya adalah faktor kesengajaan. Secara sengaja kasus hoax ini diproduksi untuk menjatuhkan lawan. Selain hoax, Ia juga menyampaikan bahwa perlu edukasi kepada masyarakat terkait literasi kepemiluan seperti Issue server agar pemahaman masyarakat merata.
“Penataan kepemiluan di Indonesia diharapkan dapat diselenggarakan dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga dalam proses pelaksanaannya dapat dilakukan secara bebas tanpa intimidasi (free), berkeadilan tanpa diskriminasi (fair), terselenggara secara berkala (periodic) dan mampu menjaga kemurnian suara tanpa manipulasi (genuine),” pungkas Hairansyah. (Feri/Ibn)
“Hasil pemantauan Komnas HAM dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, media sosial menjadi media kampanye yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan praktik ujaran kebencian. Diharapkan dengan mengetahui hal ini, ASN lebih bijak dalam menggunakan media sosialnya, sehingga dapat bersikap netral,” kata Hairansyah, Komisioner Komnas HAM RI, saat menjadi narasumber dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Badan Pegawas Pemilihan Umum Jawa Timur (Bawaslu Jatim), Rabu (16/09/2020).
Webinar ini juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KSN), Arie Budhiman dan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Juniarto. Webinar ini mengangkat tema “Peningkatan Kapasitas Pengawas Pemilu dalam Pengawasan Media Sosial”.
Arie mengungkapkan bahwa kampanye/sosialisasi di media sosial merupakan pelanggaran netralitas tertinggi yang dilakukan oleh ASN. Banyak modus pelanggaran yang dapat dilakukan oleh ASN melalui media sosial. Beberapa modus tersebut diantaranya adalah mengunggah dan membagikan konten/tautan (status, foto, dan video) dari calon ataupun Partai Politik (Parpol) tertentu.
“Memberikan komentar/like secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengandung unsur ujaran kebencian maupun berita bohong (Hoax) juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran netralitas,” ujar Arie.
Hairansyah mengatakan bahwa banyak isu ujaran kebencian yang dapat dibagikan melalui media sosial. Ujaran Kebencian yang banyak disebar adalah isu-isu diskriminasi berbasis Suku, Agama, Ras dan Etnis (SARA). Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Kesetaraan dan non diskriminasi merupakan bagian dari prinsip HAM.
Ia melanjutkan bahwa selain isu SARA, Hoax atau berita bohong merupakan kasus yang banyak ditemui di media sosial saat pemilihan umum. Hal ini didapatkan dari hasil pemantauan Pilkada 2018 yang dilakukan oleh Komnas HAM.
Sejalan dengan Hairansyah, Eko mengatakan bahwa hoax di dalam pemilu akan terus menjadi momok. Hal ini karena beberapa hal, diantaranya adalah faktor kesengajaan. Secara sengaja kasus hoax ini diproduksi untuk menjatuhkan lawan. Selain hoax, Ia juga menyampaikan bahwa perlu edukasi kepada masyarakat terkait literasi kepemiluan seperti Issue server agar pemahaman masyarakat merata.
“Penataan kepemiluan di Indonesia diharapkan dapat diselenggarakan dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga dalam proses pelaksanaannya dapat dilakukan secara bebas tanpa intimidasi (free), berkeadilan tanpa diskriminasi (fair), terselenggara secara berkala (periodic) dan mampu menjaga kemurnian suara tanpa manipulasi (genuine),” pungkas Hairansyah. (Feri/Ibn)
Short link