Latuharhary - Praktik oligarki mewarnai dinamika sistem politik di Indonesia, terutama jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2020 mendatang. Komnas HAM mengingatkan bahwa praktik oligarki sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Dalam perspektif hak asasi manusia, dampak oligarki dalam Pilkada berpotensi mengesampingkan hak-hak warga negara. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik melalui dasar Standar Internasional Tentang Pemilu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dijabarkan dalam Komentar Umum 25 Komite PBB untuk Hak Asasi Manusia. Tertulis bahwa “Hak untuk Berpartisipasi dalam Penyelenggaraan Urusan Publik, Hak Memilih dan di Pilih serta Hak atas Kesetaraan Akses dalam Pelayanan Publik”.
“Itu bagian dari hak asasi manusia, bagian dari hak sipil politik kita,” tegas Taufan dalam "FGD Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Komnas HAM RI secara daring, Senin (7/9/2020).
Bagian dari Komentar Umum Komite PBB tersebut juga tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan mengikat dalam hukum nasional. Faktanya, dominansi kaum elit terhadap kancah perpolitikan di Indonesia, menurut Taufan dapat mengaburkan prinsip equal rights. Jika prinsip ini diabaikan, maka kondisi politik dengan praktik oligarki menjadi isu HAM yang amat serius karena lenyapnya hak untuk dipilih.
“Praktik oligarki dalam berbagai kesempatan mengurangi bahkan meminggirkan prinsip equal rights dalam politik,” tegasnya.
Walhasil, hak politik warga negara akan terbatasi karena adanya kekuatan tertentu yang menguasai sistem politik. Pemilihan kepala daerah pun bakal hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki akses dalam kekuasaan politik dan ekonomi. Dampaknya, hasil dari proses Pilkada tersebut akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang condong kepada kaum oligarki.
Tak sampai di situ, hak ekonomi warga negara ikut terancam. Indikatornya terlihat dari banyaknya pengaduan terkait kasus agraria yang dilaporkan ke Komnas HAM. “Kami menemukan fakta-fakta aduan yang masuk ke Komnas HAM banyak sekali terkait konflik agraria,” ucap Taufan.
Berdasarkan data aduan Komnas HAM untuk periode 2013-2019 terdapat 407 konflik agraria yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Dalam konteks ini, oligarki mengambil peran dalam munculnya kebijakan-kebijakan di setiap daerah yang bermuara pada keuntungan ekonomi kaum elit semata.
Sejalan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin menyatakan oligarki menjadi penting untuk dipahami. “Gejala oligarki dalam politik memengaruhi keberlangsungan hak asasi manusia,” tegasnya.
Ancaman oligarki yang pertama, apabila masuk ke dalam proses politik akan menghilangkan hak partisipasi warga negara. Selanjutnya, masuknya oligarki dalam hasil proses politik sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Artinya, akan berdampak bagi pemenuhan hak asasi manusia.
Oleh sebab itu, penting bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara tepat. Pasalnya, kepala daerah terpilih akan menjadi tonggak dalam pemenuhan hak asasi manusia setiap warganya. Apabila oligarki terus melenggang, hal tersebut akan mengancam keberlangsungan hak asasi itu sendiri. (AM
Short link