Kabar Latuharhary – Praktek oligarki dalam politik di Indonesia mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara. Secara tidak langsung, praktek oligarki menimbulkan banyak permasalahan HAM di berbagai daerah, salah satunya akan berdampak pada pelayanan publik.
Amiruddin, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Oligarki dalam Pelaksanaan Pilkada di Indonesia” melalui aplikasi Zoom, Rabu (29/07/20). Menurutnya pelayanan publik adalah upaya Negara untuk memenuhi HAM warganya, namun dengan adanya praktek oligarki maka pelayanan tersebut akan mudah terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan partai penguasa.
“Kalau proses politik sudah dipengaruhi secara oligarki, maka hasil kerjanya pun hanya untuk oligarch dan kelompok oligarkinya saja, sehingga tidak akan ramah HAM”, ucap Amiruddin.
Seperti yang kita ketahui, partai politik di Indonesia sebagian besar adalah partai keluarga dan partai yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu yang memiliki kuasa secara finansial maupun politik. Partai yang seharusnya menyalurkan aspirasi rakyat tetapi justru sibuk mengembangkan kaki-kaki oligarkinya.
Pilkada serentak yang akan dilakukan di beberapa daerah di Indonesia pada Desember 2020 menjadi perhatian Komnas HAM. Pada lingkaran oligarki, apabila pemenang Pilkada adalah para oligarch, maka pemenuhan dan perlindungan HAM terancam diabaikan demi memperkuat dinasti politiknya.
Hasil dari proses politik akan berkonsekuensi kepada HAM karena Kepala Daerah terpilih tersebut yang akan mempengaruhi kebijakan di level Pemerintah Daerah. “HAM akan terancam jika oligarki masih berkembang dalam proses pemilihan kita khususnya pemilihan Kepala Daerah karena ujung tombak dalam pemenuhan HAM,” ujar Amiruddin.
Hairansyah, Komisioner Mediasi Komnas HAM sekaligus sebagai Ketua Tim Pemantauan Pemilu Daerah 2020 hasil bentukan Paripurna hadir dalam diskusi ini. Dia mengibaratkan regulasi di Indonesia bagai buah simalakama. “Regulasi dibuat oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang notabene terdiri dari partai-partai politik”, imbuhnya.
Pernyataan menohok pun terlontar dari Dr. Muhammad Uhaib As’ad, seorang pengamat politik dan kebijakan publik dari UNISKA Banjarmasin. “Demokrasi pesta rakyat itu bohong, pesta rakyat terjadi hanya lima menit di dalam kotak suara”, ujarnya.
Uhaib berpendapat jika oligarki sangat mendominasi dalam sistem politik Indonesia, terutama dalam Pilkada. Para oligarch yang menjadi otak bermain di balik layar dengan mengusung para calon Kepala Daerah yang dapat diatur untuk memenuhi keinginannya. Oligarki menjadi pasar gelap karena hanya orang bermodal besar yang bisa berkontestasi di Pilkada.
“Bandar politik menjadi pengendara tanpa memperdulikan HAM masyarakat dan sekedar untuk panggung politik”, lanjut Uhaib.
Pada penghujung FGD, Amiruddin mengajak masyarakat sebagai pemilih untuk “melek politik” dan meperhitungkan HAM mereka dalam lima tahun ke depan. Pemikiran mencoblos jika ada uang harus dibuang jauh-jauh karena pilihan satu orang akan mempengaruhi nasib ratusan juta orang lainnya. “Jika warga Indonesia mau HAM-nya terlindungi, maka jangan memilih calon-calon yang berasal dari proksi oligarki”, pungkas Amiruddin. (Ratih/Ibn)
Short link