Jakarta – AB, RS, MF, HR dan RS adalah lima aktivis mahasiswa Cianjur dari kelompok Cipayung Plus yang telah ditetapkan sebagai terdakwa dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan di Kantor Bupati Cianjur.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Komisioner Penyelidikan dan Pemantauan, M. Choirul Anam, menerima audiensi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Trisila Nusantara. YLBH Trisila Nusantara mengajukan audiensi terkait hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat atau dikenal juga sebagai kebebasan berekspresi. Audiensi ini digelar di Ruang Pengaduan Komnas HAM, Senin (29/06).
Ketua YLBH Trisila Nusantara, Hasan Tua Lumbanraja, mengungkapkan bahwa pada 15 (lima belas) Agustus 2019, kelompok Cipayung Plus menggelar aksi unjuk rasa damai di DPRD Cianjur. Aksi dilanjutkan ke kantor Bupati Cianjur untuk bertemu dengan Bupati. Namun, yang terjadi justru mereka menghadapi tindakan represif yang dilakukan oleh oknum pamong praja, sehingga peserta aksi memilih meninggalkan halaman kantor Bupati.
Setelah aksi tersebut tersebut ditolak di kantor Bupati Cianjur, maka mereka melanjutkannya dengan turun ke badan jalan. Peserta unjuk rasa melakukan aksi pemembakaran ban untuk menarik perhatian Bupati Cianjur agar menemui para pengunjuk rasa. Namun aksi berujung bentrok dengan petugas pengaman dari Polres Cianjur.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan petugas pengaman berujung pada saling lempar botol. Hal ini menyulut salah seorang pengunjuk rasa yang melemparkan bungkusan yang berisi bensin. Bungkusan bensin yang digunakan untuk membakar ban inilah yang mengenai tiga petugas pengaman sehingga mengakibatkan luka bakar.
Buntut dari peristiwa tersebut, Kejaksaan Negeri Cianjur mendakwa pelaku pelempar bungkusan bensin melakukan perbuatan pidana, “dengan kekerasan memaksa dan melawan pejabat dalam menjalankan tugasnya yang sah yang menyebabkan orang mati dan luka berat”, sesuai Pasal 214 ayat (2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 214 ayat (2) Ke-2 KUHP.
Menanggapi pengaduan tersebut, Anam menyampaikan bahwa menyuarakan kebebasan berekspresi di muka umum harus dilakukan dengan cara damai. Damai artinya tanpa adanya atribut atau instrumen kekerasan dan kebencian dalam menyuarakan kebebasan berekspresi tersebut. Adanya atribut bensin dan pembakaran ban bekas, mengindikasikan bahwa aksi unjuk rasa tersebut, bukan merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa surat pengaduan yang diajukan saat ini tidak sesuai, sebaiknya YLBH Trisila Nusantara membantu orang tua dari para mahasiswa yang menjadi terdakwa untuk membuat surat pengaduan, kemudian menyerahkankannya kepada Komnas HAM. Isi dari surat pengaduan tersebut adalah untuk meminta perlindungan masa depan anak-anak tersebut.
Dalam surat pengaduan tersebut, perlu diberikan data dukung seperti surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang menyatakan bahwa anak-anak tersebut tidak pernah melakukan tindak kejahatan sebelumnya. Selain itu, orang tua sebagai orang yang mengetahui aktivitas anak-anaknya, juga perlu menuliskan surat yang menceritakan aktivitas keseharian anak-anaknya, baik organisasi yang diikuti, ataupun dampak bagi lingkungan sosial. Data dukung ini, nantinya dapat menjadi basis bagi Komnas HAM dalam membantu orang tua para aktivis untuk melindungi masa depan anak-anaknya.
Menutup audiensi, Anam mengatakan, “setelah semua berkas pengaduan telah dilengkapi dan sesuai, Komnas HAM dapat meneruskannya ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, untuk mempertimbangkan masa depan anak-anak tersebut.”(Feri/LY/RPS)
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Komisioner Penyelidikan dan Pemantauan, M. Choirul Anam, menerima audiensi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Trisila Nusantara. YLBH Trisila Nusantara mengajukan audiensi terkait hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat atau dikenal juga sebagai kebebasan berekspresi. Audiensi ini digelar di Ruang Pengaduan Komnas HAM, Senin (29/06).
Ketua YLBH Trisila Nusantara, Hasan Tua Lumbanraja, mengungkapkan bahwa pada 15 (lima belas) Agustus 2019, kelompok Cipayung Plus menggelar aksi unjuk rasa damai di DPRD Cianjur. Aksi dilanjutkan ke kantor Bupati Cianjur untuk bertemu dengan Bupati. Namun, yang terjadi justru mereka menghadapi tindakan represif yang dilakukan oleh oknum pamong praja, sehingga peserta aksi memilih meninggalkan halaman kantor Bupati.
Setelah aksi tersebut tersebut ditolak di kantor Bupati Cianjur, maka mereka melanjutkannya dengan turun ke badan jalan. Peserta unjuk rasa melakukan aksi pemembakaran ban untuk menarik perhatian Bupati Cianjur agar menemui para pengunjuk rasa. Namun aksi berujung bentrok dengan petugas pengaman dari Polres Cianjur.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan petugas pengaman berujung pada saling lempar botol. Hal ini menyulut salah seorang pengunjuk rasa yang melemparkan bungkusan yang berisi bensin. Bungkusan bensin yang digunakan untuk membakar ban inilah yang mengenai tiga petugas pengaman sehingga mengakibatkan luka bakar.
Buntut dari peristiwa tersebut, Kejaksaan Negeri Cianjur mendakwa pelaku pelempar bungkusan bensin melakukan perbuatan pidana, “dengan kekerasan memaksa dan melawan pejabat dalam menjalankan tugasnya yang sah yang menyebabkan orang mati dan luka berat”, sesuai Pasal 214 ayat (2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 214 ayat (2) Ke-2 KUHP.
Menanggapi pengaduan tersebut, Anam menyampaikan bahwa menyuarakan kebebasan berekspresi di muka umum harus dilakukan dengan cara damai. Damai artinya tanpa adanya atribut atau instrumen kekerasan dan kebencian dalam menyuarakan kebebasan berekspresi tersebut. Adanya atribut bensin dan pembakaran ban bekas, mengindikasikan bahwa aksi unjuk rasa tersebut, bukan merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa surat pengaduan yang diajukan saat ini tidak sesuai, sebaiknya YLBH Trisila Nusantara membantu orang tua dari para mahasiswa yang menjadi terdakwa untuk membuat surat pengaduan, kemudian menyerahkankannya kepada Komnas HAM. Isi dari surat pengaduan tersebut adalah untuk meminta perlindungan masa depan anak-anak tersebut.
Dalam surat pengaduan tersebut, perlu diberikan data dukung seperti surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang menyatakan bahwa anak-anak tersebut tidak pernah melakukan tindak kejahatan sebelumnya. Selain itu, orang tua sebagai orang yang mengetahui aktivitas anak-anaknya, juga perlu menuliskan surat yang menceritakan aktivitas keseharian anak-anaknya, baik organisasi yang diikuti, ataupun dampak bagi lingkungan sosial. Data dukung ini, nantinya dapat menjadi basis bagi Komnas HAM dalam membantu orang tua para aktivis untuk melindungi masa depan anak-anaknya.
Menutup audiensi, Anam mengatakan, “setelah semua berkas pengaduan telah dilengkapi dan sesuai, Komnas HAM dapat meneruskannya ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, untuk mempertimbangkan masa depan anak-anak tersebut.”(Feri/LY/RPS)
Short link