Kabar Latuharhary

Gangguan Terhadap Kebebasan Akademik Mesti Dicegah

JAKARTA -Kemerdekaan seorang akademisi, intelektual adalah satu kondisi pokok yang mesti dijaga dan dilindungi sehingga dunia akademik, ilmu pengetahuan dapat berkembang. 

Perkembangan ilmu pengetahuan menjadi dasar yang penting bagi pembangunan sumber daya manusia  dan juga pembangunan peradaban suatu bangsa. Demikian Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM RI memulai memulai penjelasannya mengenai pentingnya Kebebasan Akademik di dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Asian Law Students Association (ALSA). Diskusi bertajuk “Quo Vadis Pengaturan Normatif Mangenai Kebebasan Berekspresi Dalam Ruang Lingkup Akademik di Indonesia?” selain menampilkan Ketua Komnas HAM RI, juga Prof. DR. Edward O.S Hiariej, SH, M.Hum dari UGM Yogyakarta dan Prof. Susi Dwi Harijanti, SH, LL.M, Ph.D dari Unpad Bandung, Jumat (5/6/2020).

Diskusi ini dipantik peristiwa intimidasi yang dialami pembicara maupun para pelaksana seminar yang mendiskusikan isu “pemberhentian Presiden” oleh mahasiwa UGM beberapa waktu lalu. 

“Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hak asasi manusia menyangkut kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik tidak mengalami gangguan. Kekerasan, intimidasi, persekusi, pelarangan tanpa alasan yang masuk akal dan melawan hukum adalah tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan karena itu mesti dicari pelakunya dan ditindak secara hukum. Kemerdekaan ini mahal harganya. Ada banyak catatan dimana berkali-kali ada pelarangan diskusi, pembubaran acara ilmiah, desakan untuk membatalkan sebuah karya ilmiah, perusakan, kriminalisasi dan lain-lain,” cetus Taufan. 

Menurut Taufan, kejadian-kejadian ini membahayakan demokrasi dan ruang gerak pertumbuhan pengetahuan di Indonesia, sekaligus mempengaruhi penilaian internasional tentang derajat kepatuhan Indonesia terhadap prinsip dan norma demokrasi maupun hak asasi manusia.


Sejak awal kemerdekaan Indonesia, gagasan demokrasi dan kemerdekaan fundamental telah menjadi bagian cita-cita yang dituangkan di dalam konstitusi dan sistem kenegaraan. Lebih lanjut, ide itu juga semakin berkembang di dalam UUD 1945 hasil amandemen sebagaimana di dalam pasal 28 D,E dan F. Indonesia juga meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta berbagai instrumen internasional hak asasi manusia yang menjamin kemerdekaan berpendapat, berkekspresi, mau pun kemerdekaan individu lain yang menjadi prasyarat pokok demokrasi dan HAM.

Di dalam penjelasan umum pasal 13 Kovenan ini diatur “... anggota komunitas akademik, secara individu atau kolektif, bebas untuk mengejar, mengembangkan dan menyampaikan pengetahuan dan gagasan, melalui penelitian, pengajaran, studi, diskusi, dokumentasi, produksi, pembuatan atau penulisan. Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).

Kebebasan akademik juga menjadi pilar penting yang kemudian ditegaskan pula di dalam UU Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi civitas akademik, dalam pelaksanaannya dilindungi dan difasilitasi pimpinan perguruan tinggi”.  

Selanjutnya, Taufan menambahkan substansi pasal 9 UU tersebut yang mengatur bahwa “kebebasan atau kemerdekaan akademik itu sejalan dengan tugas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana tugas Tridharma perguruan tinggi”. Sebagai seorang berlatar belakang profesi dosen, Taufan menjelaskan pengalaman pribadinya yang mengajar satu pendekatan kiri dalam mengajar mata kuliah Filsafat Politik dan Teori Konflik. 

“Orang boleh berbeda atau tidak sependapat, tapi kampus melindungi saya mengajar dengan perspektif yang rada kiri. Dan itu biasa saja di dalam lingkup otonomi kampus,” tegasnya. Dia juga menyitir kasus seorang kandidat doktor yang menulis disertasi tentang fikih Islam mengenai hubungan seksual yang mungkin tidak lazim dalam pandangan “mainstream Islam”. Kajian seperti itu sah saja secara akademik. Kalau ada yang tidak sependapat, maka karya akademik seekstrem apa pun dapat perlu diuji apakah karya ilmiah tersebut, baik secara teori dan metodologi bisa diterima sesuai dengan standar akademik yang diakui para ahli. Tidak bisa karya ilmiah dan si ilmuwan itu diancam dengan tuduhan pidana penodaan agama atau pasal-pasal pidana lainnya. 

“Harus diakui, tuduhan dengan sentimen ideologi-agama adalah yang paling efektif membungkam kebebasan berfikir dan akademik. Karena itu pengancaman semacam itu, ancaman fisik, persekusi dan yang sejenisnya mesti ditolak karena membahayakan perkembangan otonomi kampus dan ilmu pengetahuan,” ujar Taufan menambahkan. 

Taufan mencontohkan juga berbagai kasus seperti pembubaran seminar karena tuduhan ideologis tertentu, pembakaran buku atau pelarangan penerbitan, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan akademik. Pernah ada kasus dimana seorang ahli teknologi nano yang mengembangkan penyakit tertentu, ditolak dengan basis otoritas profesi. Padahal, mestinya ada ruang untuk menguji temuan tersebut. Jadi kekuasaan atau otoritas akademik atau profesi ilmiah pun adakalanya melakukan hambatan terhadap proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Ada pula dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya saat menyusun dan menulis pandangan ilmiah yang berbeda dengan mazhab yang diajarkan dosen. Padahal mazhab, perspektif tidak ada yang absolut (absolut truth), ada banyak pandangan lain yang berbeda atau bahkan berkontradiksi. Menurut Taufan, kekayaan pengetahuan tumbuh-kembang karena senantiasa memelihara perbedaan sebagai kekayaan khasanah pemikiran yang niscaya. Ada proses falsifikasi teori, verifikasi dan re-verifikasi seluruh bangunan teori, data, metoda dan indikator ilmiah lainnya.  

Kebebasan akademik sebagai hak asasi dan hak konstitusional.

Di negara maju, misalnya Amerika Serikat kebebasan akademik memiliki setidaknya tiga basis, yakni kebebasan sebagai hak hukum dan hak konstitusional individu akademisi/ilmuwan. Kedua, sebagai hak kelembagaan dari kampus atau institusi ilmu pengetahuan lainnya. Ketiga, sebagai hak asasi manusia yang mesti dilindungi dan dihormati sebagaimana dijelaskan di dalam instrumen HAM internasional. Ketiganya penting dan saling terkait, demikian Taufan menambahkan penjelasannya mengapa kebebasan, bahkan kebebasan berfikir tiap-tiap orang itu penting.

Tidak bisa diterimanya pembatasan, pengancaman, kriminalisasi, bahkan campur tangan pihak ketiga yang tidak berdasar hukum dan alasan yang kuat. Sebagai bagian dari “derogable rights” memang hak asasi jenis bukan tanpa batas. Tapi pembatasan, pengurangan atau regulasi yang mengaturnya tetap mesti menghormati hak dasar kemerdekaan tersebut. 

Kebebasan akademik dibatasi untuk tidak melakukan penistaan terhadap orang lain (harassment), merugikan hak orang lain (detrimental other people rights), berbohong, fitnah dan tindak pidana lainnya. Di kampus misalnya, karya ilmiah diuji apakah datanya valid, apakah ada atau tidak tindakan penjiplakan (plagiarism), memanipulasi metodologis dan data. Karena itu, semestinya pelanggaran mesti diuji terlebih dahulu oleh badan etik akademik atau komunitas ilmiah tersebut dan tidak serta merta menjadi obyek hukum pidana (kriminalisasi). (ATD/AAP/IW)

Short link