Kabar Latuharhary – Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, menyelenggarakan diskusi internal secara online dengan tema “Tata Kelola Kebijakan Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19” pada Rabu (20/5/2020). Hadir sebagai Narasumber diskusi adalah pakar kesehatan, Dr. Pandu Riono,Ph.d., Diskusi yang dihadiri oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian, M.Choirul Anam ini dimoderatori oleh Kepala Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian, Mimin Dwi Hartono. Peserta diskusi lainnya adalah Kepala Kantor Perwakilan Komnas Sumatera Barat, Sultanul Arifin, Kepala Bagian Dukungan Mediasi, Plt. Kepala Bagian Dukungan Penyuluhan, staf yang tergabung dalam tim tata kelola penanggulangan Covid-19 dan staf unit lainnya di Komnas HAM.
Sebagai pengantar diskusi, M.Choirul Anam menyampaikan beberapa hal yang menjadi perhatian penting Komnas HAM, salah satunya ialah terkait soliditas kebijakan. Menurutnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak memiliki soliditas kebijakan yang kuat. Oleh karenanya, beberapa daerah memutuskan kebijakannya masing-masing. “Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak solid. Kalau kondisi darurat, seharusnya kebijakannya terpusat. Tetapi, karena saluran komunikasi tidak terbuka, orientasinya juga berbeda-beda. Kalau dari konteks soliditas kebijakan, jadinya ada ketegangan antara pusat dan daerah. Misalnya, yang paling berasa di awal ialah Papua,” ujar Anam.
Di sisi lain, Komnas HAM juga menyoroti beberapa hal lain. Pertama ialah solidaritas masyarakat yang besar. Kedua, terkait dengan dunia medis yang meliputi alat-alat kesehatan, hingga perlindungan tim medis dari stigma di masyarakat.
“Untuk solidaritas masyarakat, kami mengapresiasi bahwa solidaritas masyarakat lumayan besar, dan hal itu menjadi catatan yang baik bagi kami. Namun, solidaritas yang sebenarnya saat ini sedang ditantang apabila orientasi dan soliditas kebijakan pemerintah tidak sejalan, bagaimana masyarakat bisa mengapresiasi,” jelas Anam.
“Hal berikutnya yang menjadi sorotan kami ialah dunia medis, mulai dari fasilitas kesehatan, sampai dengan perlindungan dari stigma, kami memantau, ditemukan bahwa sebaran fasilitas medis masih tidak merata, kebutuhannya pun tidak dipenuhi dengan maksimal. Hal ini yang menjadi penyebab angka positif pasien ODP, PDP dan yang terinfeksi terus bertambah dari hari ke hari, kami menduga mungkin disebabkan cara membaca masalah yang salah, dan juga memang fasilitasnya yang masih tidak merata dengan baik,” sambungnya.
Lebih lanjut Anam menyampaikan diskusi ini diadakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi di dalam masyarakat antara lain dibukanya ruang publik sebagai tempat berkumpul masyarakat, seperti mall, toko dan lain-lain. Namun untuk mencegah meluasnya penyebaran wabah corona, Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait larangan mudik dan tidak mudik, hingga pembukaan jalur untuk mobilisasi orang.
“Kalau dari monitoring kami, tidak hanya 2 atau 3 hari, namun kurang lebih 10 hari yang lalu sudah ada juga pembukaan mall. Di sisi yang lain, ada kebijakan terkait masalah mudik yang menjadikan kebijakan yang kontra produktif dalam upaya mengendalikan covid-19. Terkait kebijakan sektor transportasi utama di bawah Kemenhub seperti tarik menarik antara perhubungan darat, udara dan laut dengan Pemda, rasa-rasanya, kalau berhadapan dengan kelompok menengah ke bawah, kebijakannya lebih tegas. Namun, kalau kelompok menengah ke atas, kebijakannya lebih longgar,” ungkap Anam.
Hal terakhir yang menjadi latar belakang diskusi ialah terkait fenomena apa saja yang sedang terjadi sepekan ini. Apabila melihat data yang disebutkan oleh Tim Gugus Tugas, tren Covid-19 angkanya tetap meningkat. Pertanyaannya, apakah fenomena tersebut terjadi karena banyak masyarakat yang diperiksa kesehatannya, atau memang karena tren nya yang sedang meningkat.
“Kami ingin melihat sebenarnya tepat atau tidak, dilakukan pelonggaran saat ini dengan berbagai data tentang penyebaran dan penularan epidemi yang masih terus meningkat. Kalau itu dianggap tepat, apa alasannya? Seharusnya kebijakan itu basisnya argumentasi. Kami berharap argumentasinya adalah argumentasi kesehatan, bukan argumentasi yang lain. Karena, kalau argumentasinya ekonomi dan lain-lain, mau tidak mau dampak pasti ada. Tapi, kalau kesehatan yang menjadi argumentasi utama, mau tidak mau ini juga berdampak pada ekonomi dan lainnya,” ucap Anam.
Narasumber diskusi kali ini, Dr. Pandu Riono,Ph.d. memulai pemaparannya dengan penjelasan singkat terkait perjalanan Covid-19 di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia sendiri tidak mungkin menggunakan konsep kekebalan komunitas, atau yang lebih dikenal dengan istilah Herd Immunity.
“Tidak mungkin untuk menggunakan konsep Herd Immunity, karena kita kira-kira 70 persen penduduk harus terinfeksi. Kalau seperti itu berapa banyak korban yang harus berjatuhan, dan apalagi penduduk Indonesia itu besar. Kalau negaranya kecil, itu mungkin. Tapi kalau negaranya besar seperti Indonesia, tidak mungkin,” kata Dr. Pandu.
Terkait dengan mudik, lanjut Dr. Pandu menjelaskan seberapa banyak akhirnya mudik yang tidak dapat dicegah, walaupun sudah banyak implementasi di lapangan. Karena memang menurutnya banyak kebijakan yang saling tumpang tindih dan tidak ada koordinasi.
“Transportasi publik sebenarnya harus tetap berjalan, namun dibatasi pemanfaatannya. Karena kita ingin 20 persen dari kehidupan itu masing tetap berjalan. Dan kita juga membutuhkan tenaga kesehatan yang pindah bekerja, melakukan instalasi PCR di daerah, pengiriman teknisi dan sebagainya. Jadi, masalahnya ketika benar-benar di block transportasinya itu jadi kacau. Kemudian kebijakan tersebut diloggarkan kembali, namun dengan aturan yang kelihatannya membuka celah agar orang memanfaatkan kelonggaran tadi”.
“Estimasi kasus ketika masyarakat melakukan mudik juga akan ada penambahan kasus perawatan di Rumah Sakit, karena adanya perpindahan penduduk eksodus besar-besaran. Ini juga terjadi di Wuhan, di sana menjadi besar juga karena bersamaan dengan tahun baru Imlek. Jadi setiap perpindahan gerak penduduk itu akan memudahkan virus itu pindah kesatu wilayah ke wilayah lain, termasuk ke Jakarta lagi” lanjutnya.
Berbicara mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Dr. Pandu menyatakan bahwa kegiatan PSBB ini memang akan berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat yang terdampak akibat PSBB tersebut harus dilakukan mitigasi.
“Bukan hanya mitigasi kesehatan, tetapi juga mitigasi sosial-ekonomi dan sebagainya. Ini yang harus sejalan, tidak mungkin tidak sejalan. Selain itu, Pemerintah harus keras kepada masyarakat, dan masyarakat juga harus keras kepada pemerintah. Penduduk Indonesia selama ini tidak dijadikan sebagai subjek, jadi dari awal pendekatannya hanya objek dari atas ke bawah. Menurut saya, paling bagus itu pendekatannya masyarakat diajak. Karena, pembatasan sosial ini garda terdepannya adalah masyarakat. Kalau masyarakat tidak patuh, pembatasan sosial ini akan gagal. Paling penting adalah pendekatan edukatif dan pendekatan memberi peran yang lebih besar,” ujar Dr.Pandu.
Pembatasan sosial berskala besar, lanjut Dr. Pandu tidak dapat langsung diakhiri dan kembali ke kondisi sebelum ada pandemi Covid-19. PSBB hanya dapat dilonggarkan, bukan diakhiri. Hal tersebut tergantung dari kondisi epidemi. Selama vaksin untuk virus corona ini belum ditemukan, kondisi seperti inilah yang akan tertap terjadi. Oleh karena itu, menurut Dr. Pandu kita harus hidup dalam kondisi the new normal.
“Pembatasan sosial ini mungkin tidak akan berakhir, mungkin hanya dilonggarkan saja. Hal ini dikarenakan bukan PSBB nya ya. Tetapi perilaku yang diwajibkan itu, seperti mencuci tangan, menutup mulut ketika batuk, menggunakan masker, isolasi kasus dan kontak, karantina orang dari daerah prevalensi tinggi, dan lain sebagainya harus tetap dilakukan,” jelas Dr.Pandu. (Radhia/LY/RPS)
Short link